Halaman:Taman Siswa.pdf/34

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

sendirinja djuga pergaulan-hidup, pendukung kebudajaan itu, gontjang dari bawah. Individu merasa dirinja sendirian dania berhadapan dengan suatu tugas kepahlawanan untuk memelihara ethos baru dan memasukkannja dalam pergaulan-hidup dan tugas ini demikian beratnja, hingga sebenarnja seharusnja djuga tidak didirikan oleh suatu individu, tetapi oleh „waktu”. Keadaan jang demikian hanjalah djuga terdapat pada kebudajaan² jang saling bersintuhan, jang karena itu saling mengantjam dengan kemusnahan (dengan ini tidaklah djuga dikatakan, bahwa jang satu harus timbul sebagai pemenang: mungkin pula terdjadi modulasi baru dari salah satu atau kedua-duanja bersama-sama).

Kepetjahan ini didjelaskan oleh Armijn Pane dengan kata² seperti berikut dalam suatu karangan Naar nieuwe verhoudingen (Menudju perhubungan baru), dalam Panorama 1937, No. 4: „Perasaan ketidaksanggupan, sebagai akibat dari hilangnja keseimbangan jang djustru melaraskan antara individu dan masjarakat, dan dengan itu hilangnja suatu fundamen kebudajaan jang kokoh, membuat djelas tanda² (symptomen) perasaan ketidaksanggupan, jang memantul dari segala tindakan² orang Indonesia dalam masjarakat. Dorongan sesuatu kemauan bersama dari masjarakat, seperti jang terdapat di Bali dalam upatjara agama bersama, tidak ada.”

Menolong ethos sendiri itulah djuga maksud Dewantoro dan ia menundjukkan trio jang dibawa oleh sekolah barat, jakni trio intellektualismus, materialismus dan individualismus dalam saling pengaruh-mempengaruhi, sebagai mula „baik kegelisahan batin kita maupun kegelisahan masjarakat kita” (suatu pikiran jang terutama diperluasnja pada konggres pengadjaran nasional jang pertama di Solo tahun 1935). Adalah djelas, bahwa istilah sifat² jang dihukumnja disini bukanlah berlaku dalam artinja setjara filosofis, tetapi harus diartikan dalam nilai pemakaiannja sehari-hari. Menerangkan idee kebudajaan barat (dan bolehlah dikatakan sifat² ini adalah hanja perobahan² akkulturil), seperti jang ditjoba Tagore dalam kutipan pertama jang diberikan disini, tidaklah pernah sepandjang pengetahuan saja, dianggapnja sebagai tugasnja.

Pengedjekan peradaban barat dalam ketiga sifat jang disebutkan diatas barulah djuga djelas tampak, apabila peradaban itu dilihat dari sudut ethos Djawa jang dipertahankan oleh Dewantoro, dan untuk itu, seperti pada tiap² ethos, kita dapat mengambil tokoh mythis jang mentjiptanja, dan untuk orang² Djawa itulah ideaal Ardjuna.

Ardjuna adalah pahlawan jang mengalahkan radja dewa dan dengan kemenangan ini, kemenangan jang baik atas jang djahat (keinginan egoistis akan kekuasaan) diperoleh kembali keselarasan dalam alam. Kekuatan untuk kemenangan ini didapatnja dengan perantaraan tapa dan pemikiran dalam gua gunung, dimana ia mengasingkan diri, setelah kekalahan jang diderita oleh sanaknja. Dalam kesedaran penuh, bahwa mentjari harmoni abadi, nirwana, ialah tudjuan tertinggi dari hidupnja, tidaklah ia karena itu melepaskan tugas ksatryanja dalam masjarakat, sebab tugas ini adalah telah haknja menurut takdir alam dan menurut takdir ini nirwana akan mendjadi bagiannja, sesudah beberapa waktu, kalau datang waktu jang tepat.

Tjita² Ardjuna ini memanglah suatu tjita² jang sangat sutji dan dapat diterima

29