Halaman:Taman Siswa.pdf/28

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Sedjak tahun 1915 ada terdengar suara² untuk menolak politik pengadjaran jang didjalankan, lebih² oleh Westerveld, jang dengan seru menolak „pembelandaan” pengadjaran bumiputera dan mendapat seorang djurubitjara di Tweede Kamer dalam diri Gerhard, jang telah mengusulkan dalam tahun 1918 untuk mendirikan sekolah² Mulo bumiputera. Gerhard dalam hal ini meneruskan tradisi Van Kol, jang sedjak tahun 1897 mentjela pengadjaran rendah bumiputera sebagai sekolah jang kebarat-baratan dan sebagai sekolah jang terlalu sedikit ditudjukan kepada kebutuhan² rakjat.

Penjia-njiaan bahasa sendiri dan karena itu penjia-njiaan adat² sendiri (djelas ada hubungan seperti dalam bahasa Djawa misalnja, jang mengenal pemakaian ngoko dan kromo kalau berhadapan dengan orang² jang lebih rendah dan tinggi) adalah djuga ditolak dengan sungguh² oleh pastor F. van Lith, ahli bahasa Djawa, jang mendirikan sekolah normal pertama di Muntilan, jang dipakai pemerintah sebagai tjontoh untuk menjusun sekolah² normalnja; lagipula F. Van Lith mendesak, supaja didirikan sebuah sekolah normal jang lebih tinggi, jang „akan membentuk pengarang² bahasa Djawa Baru jang sedang tumbuh, supaja bentuk² Kain Bahasa dengan penuh rasa hormat dan sedap dipandang mata dikembangkan untuk hidup djiwa baru dari Djawa Muda” (Kath. Schoolblad, 30 Djuli 1918).

Perlunja mempertahankan kebudajaan sendiri mulai dirasa oleh orang² Djawa terpeladjar, jang makin memperdalam perhatiannja untuk itu dan jang dalam tahun 1919 mendirikan Java-instituut, dimana djuga banjak bekerdja orang² Belanda jang berminat kepada bahasa dan kebudajaan Djawa.

Kawan jang sependirian dengan Westerveld adalah djuga Dewantoro jang waktu itu hanja dikenal orang sebagai R. M. Suwardi Surianingrat, jang karena pertimbangan² praktis bersedia tidak sedemikian djauh madjunja (seperti ditjeritakan Dr. J. A. Jonkman dalam disertasinja Indonesisch-nationale grondslag van het onderwijs ten dienste der inlandse bevolking, 1918).

Terhadap reaksi ini Pemerintahpun tidaklah menutup telinga dan dari sudut inilah barangkali dapat kita lihat berdirinja sebuah AMS di Surakarta, dengan tudjuan kesusasteraan Timur dalam tahun 1926, jang selainnja seperti rekannja di Bandung untuk kesusasteraan Barat klassik, (kedua-duanja kemudian digabungkan dibawah satu direktoral), tetap tinggal satu²nja sekolah sematjam ini. Tetapi sekolah inipun adalah unik (tunggal) ditindjau dari sudut prinsip, sebagai „usaha jang pertama mempertemukan (synthese) kebudajaan barat dan timur pada pengadjaran landjutan: sekolah ini adalah, dengan berurat-berakar dalam perbendaharaan bahasa, seperti seni dan tuanja bangsa² Indonesia tidak dapat dipersamakan dengan salah satu lembaga pengadjaran dinegeri Belanda” (Dr. I. J. Brugmans). Dalam tahun 1937 achirnja didirikan djugalah sebuah Mulo bumiputera, jakni dengan bahasa Djawa dan sebagian dengan bahasa Melaju sebagai bahasa pengantar, atas initiatif dari Muhammadijah dan dibantu oleh Pemerintah. Ketika itu telah diberikan peladjaran dalam 29 bahasa² jang terpenting diseluruh Nusantara disekolah-sekolah desa. Kira² pada waktu itu sekolah² desa banjak dikundjungi oleh anak², jang sebelum itu sering sebagian harus ditambah dengan perantaraan perintah halus.

Dalam tahun 1935 Dewantoro menulis: „Pendapat mulai tumbuh, bahwa kepada

23