dengan penyuji, hormat pada ibu dan bapak, tak pernah menghentikan tangan, lepas ke dapur ia menganyam, tak pandai ia bertandang-tandang, bangun tidur selalu tertawa, kesayangan orang dalam kampung, jadi teladan gadis lainnya.
Beberapa saat kemudian, telah selesai minum dan makan, datanglah Siti Fatimah, mandeh kandung si Gadih Ranti, duduk bersimpuh di hadapan kakak.
Datuak Batuah lalu berkata, “Wahai kau Upiak si Gadih Ranti, elok ke halamanlah dahulu, hamba bertutur dengan Mandeh kau, tak elok didengar orang.”
Akan halnya si Gadih Ranti, diayun langkah turun ke halaman, Datuak Batuah lalu berkata, “Adik Kandung Siti Fatimah, ada suatu hal den katakan, ini menyangkut si Gadih Ranti, dilihat rupa dipandangi, anak berangsur besar juga, sudah patut diberi kawan, dicari junjungan si Ranti.
Tatkala kita ada waktu, tak elok berlalai-lalai, kita memeram pisang masak, mufakatlah dengan bapaknya, turutlah bapak si Ranti, panggillah ke rumah sekarang juga, dia sedang duduk di bangku, bangku lepaunya si Lelo,” katanya Datuak Batuah.
Mendengar perkataan kakaknya, mandeh si Gadis Ranti langsung berdiri, bergegas turun ke halaman, diturutlah lepau si Lelo, tampaklah bapak si Ranti, duduk berjuntai di bangku, dihimbau disuruh ke rumah.
“Tuan Datuak menantikan, ada persoalan nan penting,” katanya mandeh si Ranti.
Mendengar perkataan istrinya, tersirap darahnya si Pakiah Sutan, ia bergegas berjalan pulang, begitu sampai duduk bersalaman, berkatalah Pakiah Sutan, “Tuan sudah lama ke rumah?”
Menjawab Datuak Batuah, “Sejak tadi hamba duduk, sudah duduk dan makan. Wahai Pakiah bapak si Ranti, ada hal nan
15