berkembang menjadi pusat kegiatan kekuasaan dan administrasi Hindia Belanda baik sipil maupun militer[1].
Susunan pemerintahan di Banjarmasin, sebelum Kerajaan Banjar dihapus dan berdampingan dengan pemerintah Belanda adalah sebagai berikut: Residen (A. Van der Ven), Mangkubumi (Tamjidillah), Sekretaris Residensi, Penerima pemasukan penjualan garam dan kepala gudang, pengawas kelas I pekerjaan umum, Jaksa Kepala, Penghulu, Pjs Kepala orang Bugis, Kapten Cina, Letnan Cina penerima, Kepala lelang, notaris, Kepala Pelabuhan, Perwakilan Pengurus Harta Warisan, Komis Pos, dan Pengadilan[2].
Tampak dalam susunan ini adanya legitimasi rasional yang sesuai dengan rasionalitas, dan bersifat hukum, sehingga tampak lebih unggul dari legitimasi tradisional dan kharismatis[3]. Terdapatnya unsur Pamong Praja dan Pengadilan Negeri yang terdiri dari orang-orang terdidik dan berbagai suku bangsa, sesuai dengan jenis penduduk yang ada. Oleh karena itu sesudah Kerajaan Banjar dihapus dan Komisaris Gubernur F.N. Nieuwenhuyzen diganti oleh Letnan Kolonel G.M. Verspijck sebagai Residen, maka pemerintahan legal rasional berlaku seperti di barat. Residen, Sekretaris Residensi, Komis, Komis Pos, Jaksa Kepala, Penghulu Kepala, Kepala orang Bugis, Kepala orang Arab, Kapten Cina, Notaris, Kepala Lelang, penerima umum, dan pencatat kematian serta kelahiran, pegawai luar biasa kotakota, Kepala Pelabuhan, Pengurus Harta Warisan, Kepala Gudang Batu hara, Sipir, pegawai sementara ditugaskan, dan Pengadilan Perdata dan Pidana.
Dalam tahun 1864 daerah Kuin dijadikan daerah istimewa, dengan pemerintahan: Controleur, Ronggo, Mufti, Penghulu, dan penjaga kas[4].
Pada tahun 1910, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan politik liberal dengan pengekstensifan tanah seberang maka membuka kemungkinan bertambahnya jumlah penguasa Belanda yang menghuni kota di Indonesia, sehingga timbul pula ke-