Halaman:Puisi Afrizal Malna; Kajian Semiotika.pdf/74

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Jika dilihat, gagasan Malna itu adalah, pertama, ketidakpercayaannya terhadap bahasa yang menimbulkan implikasi yang tidak netral dalam komunikasi manusia. Itu merupakan bentuk keputusasaan Malna pada pemikiran filosofisnya tentang bahasa yang dipengaruhi oleh pemikiran pascamodernis yang memandang bahasa sebagai bentuk permainan. Oleh karena itu, bahasa juga menjadi medan pertandaan dan perayaan beragam hal yang memiliki kepentingan dan juga permainan bahasa. Ketidakpercayaan itu diungkapkan dengan kata "bahasa (dan juga kata) merupakan lembaga komunikasi yang paling susah dipegang, bobrok, dan busyet," karena ia berasal dari "...suara dari seekor binatang yang baru saja membunuh, tapi dia menganggap pembunuhan itu biasa, karena kalau tidak membunuh dia kelaparan dan tidak mau mati" (Malna, 2002).

Kedua, Malna mengambil inspirisi dari dunia permainan tanda atau semiotika budaya yang beraku di tengah massa konsumer kontemporer. Dengan demikian, yang menjadi ciri utama penampakan dalam dunia konsumerisme adalah benda material dan permainan semiotis yang intens dan liar yang melahirkan citraan komoditas konsumsi sebagai bentuk permainan permukaan material yang bersifat dangkal. Maka, lanskap yang ditampilkan dalam tema-tema puisi Malna itu umumnya adalah benda-benda urban, seperti kota, benda teknologi elektronik, benda konsumtif, diksi dalam dunia kekerasan dan politik. Pembaca tidak akan menemukan keremangan ala puisi romantik yang memakai diksi dari alam pedesaan, seperti sungai dan hutan, atau diksi yang menggambarkan keintiman hubungan antarmanusia yang impersonal. Puisi Malna boleh disebut hidup dalam mitos atau mitologi dunia kontemporer.

Gagasan ketiga dalam sajak-sajak Malna adalah persoalan yang sering disebut dengan gerakan pascakolonialisme. Gagasan yang mewarnai sajak Malna itu berisi persoalan identitas, negara, dunia ketiga, serta kolonialisme.

60