Halaman:Puisi Afrizal Malna; Kajian Semiotika.pdf/54

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Lorong Gelap dalam Bahasa


Si maut itu sudah datang membuat kamar dalam perutku. Ia membeli lemari baru, tempat tidur baru, meja dan lampu kamar. Ia juga memasang sebuah cermin. Si maut itu tidak pernah keluar dari kamarku. Setiap malam ia menyetel radio dan tv. Koran pagiku selalu diambilnya. Si maut itu, membuatku harus menggotong tubuhku sendiri untuk berdiri. Lemari goyah menahan berat tubuhku. Kamar seperti akan tenggelam ke dalam pagar-pagar jiwa. Si maut itu mengatakan, semua yang aku rasakan bukan milikku.


Aku bertengkar dengannya. Ia telah mengambil semua yang aku rindukan, semua mimpi-mimpiku. Si maut itu telah membuat kamar tidurku seperti sebuah gereja yang rusak. Seluruh penghuninya telah pergi. Lonceng berdentang seperti menggemakan lorong gelap dalam bahasa. Dan si maut itu membuat mulutku seperti peti besi. Kata-kata yang tak pernah lagi menemui anak-anak kucing bermain. Bulunya halus dan lembut, tubuhnya gugup menghadapi setiap gerak dari dunia luar. Ibunya datang, memanggilnya dengan suara yang datang dari lorong kematian dan kelahiran, menggigit lehernya, dan membawanya ke dalam sebuah kardus.


Si maut itu, api dari kaki-kaki bahasa.


Sajak yang terdapat dalam kumpulan puisi Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002) itu memiliki penampilan yang tidak mempertimbangkan bentuk persajakan konvensional. Hal itu memang tidak menjadi fokus perhatian dari penyair yang memaksudkan bentuk bait sajaknya menyampaikan sesuatu. Namun, tersirat dalam sajaknya pengelompokan bait demi bait untuk memberikan ruang jeda ketika kita membacanya. Hal itu sepertinya masih mengikuti alasan yang dipakai dalam penulisan prosa bahwa pengelompokan kalimat demi kalimat

40