Halaman:Puisi Afrizal Malna; Kajian Semiotika.pdf/24

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

merasuk pada setiap manifestasi kehidupan yang ada, dari dedaunan sebatang pohon hingga di kerutan dahi seorang wanita penghibur.

Apakah hal tersebut hanya sebagai slogan atau sebatas metafor kemabukan seorang penyair dengan anggur atau puisi? Mungkin hanya ia saja yang tahu. Dan setiap penyair pun memiliki kredo atau semacam kepercayaan penggerak yang menentukan sikap kepenyairannya. Mungkin ungkapan Baudelaire itu merupakan dasar pemikirannya yang sadar tentang penulisan puisi dan dunia, atau kehidupan. Akan tetapi, apakah kepercayaan akan kepenyairan dan penulisan puisi seperti itu merupakan hal yang tidak penting lagi di masa sekarang?

Mungkin jawaban atas pertanyaan tersebut agaknya bersifat individual dan tidak umum soal mengapa orang menulis puisi, atau lebih radikal lagi, mengapa puisi itu ada. Atau dalam pertanyaan utilitarian, apakah mencipta puisi bukan sebuah tindakan yang tidak populer dalam percepatan dunia, yang diistilahkan Giddens (2001) yang tunggang-langgang ini? Akan tetapi, itu merupakan pertanyaan yang bersifat hitam dan putih yang tak bisa dihadapi dengan jawaban yang simetris, kalau tidak ya, ya tidak, dan mengandung penyerderhanaan yang kadang menyesatkan.

Oleh karena itu, kredo, kepercayaan, atau apa pun namanya tentang apa perlunya mencipta puisi setidaknya menjadi perangkat filosofis yang cukup kuat dalam menghadapi pertanyaan umum seperti itu. Alasan itu memang tidak lalu menghasilkan tindakan praktis karena puisi bukan perangkat teknologi yang memudahkan urusan manusia atau semacam kuasa suci yang melindungi manusia dari malapetaka.

Keyakinan humanisme yang mengelilingi ihwal penciptaan puisi membuat penyair (merasa) tidak sia-sia dengan jalan kreativitas yang ditempuhnya. Tampaknya pertimbangan mengapa seseorang menuliskannya adalah karena alasan pribadi untuk kemudian berangkat kepada alasan yang lebih luas lagi dan tidak egoistis. Alasan pribadi itu mungkin saja berupa kemabukan ala Rumi dan kaum sufis, atau Baudelaire.

12