Halaman:Puisi Afrizal Malna; Kajian Semiotika.pdf/15

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Bagi Malna, sejak dahulu kata tidak terlepas dari beban yang dibawakannya dalam berkomunikasi. Dalam konteks penafsiran, sebuah kata telah dirancang sebagai sesuatu yang mengandung konsep tentang referen secara sepihak. Itulah yang dinamakannya dengan stereotipe. Tampaknya kredo seperti itu merupakan sebuah gambaran umum tentang ketidakpercayaan sang penyair terhadap kata yang diciptakan oleh manusia dalam dunia komunikasi. Dengan demikian, bahasa juga tidak bebas dari cengkeraman ideologi.

Pergumulan lebih jauh Malna dalam puisinya adalah persoalan stereotip dunia ketiga yang dalam diskursusnya disebut dengan persoalan poskolonial, yaitu persoalan identitas dunia yang terombang-ambing dalam modernitas yang datang dari dunia pertama seiring usainya kolonialisme teritorial. Dalam sebuah interviewnya dengan seorang kritikus dari Spanyol, Malna mengutip pendapat penyair Amir Hamzah bahwa keterombang-ambingan identitas itu, antara kolonialisme yang masih meninggalkan jejaknya dengan modernisme berawal ketika Malaka dikalahkan oleh Armada Portugis. Penaklukan itu menurutnya telah mengakibatkan 'kehancuran' budaya Melayu. Dengan menairk garis lurus, kehancuran budaya baginya juga berarti kehancuran bahasa: kehancuran bahasa juga berarti kehancuran, bahkan, kematian puisi (Malna, 2002).

Bagi Malna, "kematian puisi" terjadi ketika sang penyair, yang dalam hal ini adalah dirinya sendiri, tidak lagi berangkat dari tradisi yang primordial sebagaimana banyak penyair Indonesia lainnya yang dipengaruhi oleh tradisi yang melahirkan mereka untuk kemudian meloncat menjadi penyair modernis. Konsekuensi dalam dunia kepenyairan dan dunia intelektual seperti itu, yaitu antara jejak-jejak kolonialisme dan modernisme, adalah keterbelahan identitas dan moral. Penyair ini menganggap keterperangkapannya dalam modernitas adalah sebagai akibat dari keterbelahan identitas yang dihadapinya.

3