Halaman:Puisi Afrizal Malna; Kajian Semiotika.pdf/14

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Bagi penyair Afrizal Malna, puisi tidak hanya merupakan medan estetika dan menghasilkan keindahan kata-kata. Dalam kasus kepenyairan Malna, puisi-puisinya merupakan tempat kata-kata menemukan makna yang tidak konvensional. Puisi baginya membuat benda-benda seperti hidup dan bicara layaknya manusia berkata-kata.

Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, geretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku. 
(Warisan Kita, Malna, 1995: 58).

Benda-benda yang 'berbicara' dalam kata-kata seakan tertempel dalam ruang, batu-batu, kaleng-kaleng, perabotan, dan sepatu sebagai benda-benda urban yang telah melahirkan sebuah gaya kepenyairan Malna yang khas di antara barisan penyair Indonesia kontemporer.

Dalam membaca puisi Malna, kita seakan menemukan suasana dan metafor yang terinspirasi dari benda-benda yang tidak alamiah, lanskap, abstraksi imajinasi yang tidak lazim kita temukan dalam puisi-puisi yang banyak diilhami oleh dunia ekesterior kita, seperti hal yang senantiasa melingkupi kehidupan jasmani manusia: angin, cuaca, matahari, dan sebagainya. Kekhasan yang muncul dari puisi Malna adalah persoalannya dengan kata-kata, bahasa.

Dalam sebuah kolofon buku puisinya yang diterbitkan pada tahun 2002, Malna sebagai penyair kontemporer Indonesia dengan gamblang menyatakan 'kredo' kepenyairannya. Kredo itu menyiratkan sikap kepenyairan Afrizal Malna tentang kata:

"kata adalah lembaga komunikasi yang paling susah dipegang, bobrok dan busyet. Bahasa mungkin merupakan ciptaan manusia yang paling punya banyak masalah. Dunia referen — yang tinggal dalam memori kita atau pelabelan sosial (stereotip), seperti seekor ular yang terus mengintai dan siap menerkam setiap teks... Bahasa adalah dunia binatang dalam mulut kita" (Malna, 2002).

2