Halaman:Propinsi Sumatera Utara.pdf/773

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

karena hal sedemikian tidak sunji dari risiko-risiko jang mendjatuhkan nilai-nilai atau mutu pengadjaran itu sendiri.

Memang tidaklah ringan tugas jang kita pikul dilapangan pendidikan dan pengadjaran ini. Disamping memelihara mutu pengadjaran, maka ada pula jang terpenting diperhatikan, jaitu masaalah pembangunan pendidikan nasional.

Seperti kata dr. Bahder Djohan selaku Menteri P.P. dan K. dari Kabinet-Natsir jang datang berkundjung ke Sumatera Utara dalam bulan Maret 1951 :

,,Meskipun udjud pendidikan kita tidak disangsikan lagi kenasionalannja, namun dengan terus terang harus dikatakan, bahwa pada waktu ini lapangan pendidikan belum mempunjai tudjuan jang tertentu.

Sistim pengadjaran waktu ini adalah merupakan pengambilan dari bahan apa jang sudah ada, kemudian di-Indonesia-kan,sedang isi nasionalnja samasekali belum ada.

Untuk masa depan inti tjita-tjita kenasionalan itu harus mendjadi dasar pengadjaran dan pendidikan kita".

Pada permulaan bab ini sudah dikatakan, bahwa pendidikan dan pengadjaran — selain merupakan alat jang terutama untuk pentjerdasan rakjat — merupakan pula alat atjuan pembentuk djiwa manusia kedjurusan jang dikehendaki oleh Pemerintah jang berkuasa.

Maka semula pemerintah kolonial Hindia-Belanda telah memberikan pendidikan dan pengadjaran itu untuk mendapatkan tenaga-tenaga terdidik jang akan diperalatnja bagi kelantjaran pemerintahan dan tatausaha perusahaannja. Akan tetapi hasilnja njata lebih banjak menimbulkan pengertian dan kesedaran dalam bangsa kita sendiri untuk bangkit kembali dan bergerak mentjapai kemadjuan. Inilah pula jang tiada dapat dilihat dengan ichlas oleh pemerintah kolonial itu, seperti terbukti dengan sistim ,,palang pintu" jang didjalankannja terhadap penerimaan dan tjara-tjara mengikuti peladjaran bagi anak-anak bangsa kita. Dalam tempoh perkembangan jang berpuluh-puluh tahun hanja tertjapai hasil jang minimaal sekali bagi kemadjuan rakjat jang berpuluh-puluh djuta.

Lebih buruk lagi nasib pendidikan dan pengadjaran dibawan belenggu facisme Djepang. Daripadanja samasekali tiada dapat dikemukakan sesuatu sebagai buah kemadjuan untuk perbaikan bagi apa jang sudah kita terima semasa pendjadjahan Belanda, selain dipihak kita sendiri semakin bergelora semangat untuk menolong diri sendiri, sebagai satusatunja djalan-keluar dari kegelapan dibawah pandji-pandji pendjadjahan itu.

Dizaman Hindia-Belanda kesempatan untuk menolong diri sendiri sekalipun sangat terbatas. Dan ini telah dipergunakan, itu masih ada seperti terbukti dengan perkembangan perguruan-perguruan nasional dan partikelir.

Maka sesudah Indonesia Merdeka, segala kepentingan pendidikan

751