Halaman:Propinsi Sumatera Utara.pdf/713

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Dalam hal demikian kesanggupan itu akan mendjadi lebih besar dan lebih terdjamin lagi, dimana perasaan kesosialan berkembang dengan mekarnja. Sungguh perasaan kesosialan ini harus berakar mendalam pada bangsa kita, terutama dalam taraf-taraf sedjarah kemerdekaan kita dibina dari keruntuhan kepada pembangunan. Kegiatan ekonomi bagi pemulihan keruntuhan kesosialan itu kiranja mendjadi lebih lantjar dan lebih harmonis lagi dengan hidupnja semangat tolong-menolong antara sesama kita untuk berbuat dan berusaha dari segi perikemanusiaan.


PEMBANGUNAN DJAWATAN.


Guna pembimbing itulah dipropinsi Sumatera Utara dibentuk Djawatan Sosial, jaitu pada tanggal 17 Maret 1951, jang diperluas dengan Kantor-kantor Sosialnja dikabupaten-kabupaten.


Dalam hubungan ini lebih dahulu baik kita djelaskan, bahwa Djawatan Sosial tidak mempunjai tradisi dizaman sebelum merdeka, Dahulu usaha kesosialan hanja merupakan bahagian dari Departement van Justitie jang tugasnja berpokok kepada maatschappelijke zorg. Tudjuannja dalam banjak hal hanja menutupi kedjelekan-kedjelekan jang ada, dan bukan bersifat memperbaiki atau mendidik orang-orang jang rusak atau lemah kesosialannja.


Setelah proklamasi, oleh Republik Indonesia di Jogjakarta dilahirkan sesuatu kementerian dengan nama Kementerian Sosial dan Perburuhan. Pada awal tahun 1946 Kementerian tersebut memperluas tjabangtjabangnja keseluruh Indonesia, Sumatera Utara dalam hal ini berhubung dengan situasi pada waktu itu membentuk kantor-kantor Sosial didaerah-daerah Atjeh, Tapanuli dan Sumatera Timur daerah Republik.


Dengan segala alat jang ada padanja, Djawatan Sosial melantjarkan aksinja pertama-pertama bagi pemulihan fakir-miskin jang bergelandangan, jang kebanjakan didapati di-kota-kota besar. Sebagai kenjataan tidak selamanja tekanan ekonomi itu menjeret manusia kedjurang keruntuhan, karena tidak setiap jang bergelandang itu benar-benar karena miskin dan bernasib melarat se-mata-mata.


Dengan tidak mentjoba memandang enteng djumlah pegelandangpegelandang, pengemis-pengemis dsb itu, maka tidak urung pula diantara mereka terdapat jang hanja mendjadikan perelandangan itusebagai ,,matapentjaharian" pula. „Mereka jang demikian ini sebenarnja malas, sebab tubuhnja sehat dan masih sanggup untuk mentjari nafkah setjara jang lajak.


Lagipula diantara mereka jang sudah diasramakan, jaitu jang sudah dikumpulkan dan dirawat dirumah-rumah perawatan jang dibuka diibu-ibu-kota kabupaten, tidak djarang jang melarikan diri, dan lebih suka mengulangi hidup bergelandangan dari dididik kembali mendjadi warga jang baik.

691