Halaman:Pola-Pola Kebudajaan.pdf/41

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

42

POLA-POLA KEBUDAJAAN

setidak²nja meréka boléh membéla diri,. setelah meréka bengkak² karena pukulan², meréka diterima lagi dalam suku sebagai dui orang jang kawin setjara sjah.

Sikap orang Kurnai terhadap dilemma kebudajaan ini tjukup chas. Meréka telah memperkembangkan suatu segi chusus kelakuannja menjadi sesuatu jang sangat ruwét dan meng-halang²i kelantjaran kehidupan sosialnja. Sekararg meréka harus merobahnja, atau membuat suatu pintu-belakang untuk djalan keluar. Meréka mempergunakan pintu belakang. Meréka berusaha djangan sampai sukunja mendjadi lenjap, dan dalam pada itu mempertahankan tatasusilanja tanpa menindjaunja kembali. Sikap terhadap soal² masjarakat sedemikian itu selalu ada diseluruh sedjarah peradaban manusia. Kaum tua dalam peradaban kita sendiri setjara itu pula mempertahankan monogami, sambil menjokong prostitusi, dan pemudjaan monogami memuntjak bersamaan dengan memuntjaknja pelatjuran. Tiap² peradaban selalu membéla dan membenarkan tradisi² jang ditjintainja. Apabila ini tak bisa lagi dipertahankan, dan diperlukan aturan tambahan jang harus dihidupkan, maka tradisi itu dibéla setjara luaran, sama hébatnja seperti ketika aturan tambahan itu belum ada.

Tindjauan sepintas lalu mengenai bentuk² kebudajaan manusia memperdjelas berbagai anggapan² umum jang salah. Pertama, ternjata bahwa lembaga² jang timbul dalam berbagai kebudajaan² sebagai réaksi terhadap lingkungannja, atau jang diakibatkan oléh kebutuhan materiil manusia, tak begitu mudah mentjotjokkan diri dengan ketjenderungan aseli, se-tidak²nja tidak semudah seperti jang kita sangka semula. Dorongan² lingkungan inipun wataknja tak berketentuan dan sifatnja terlalu umum; atau dengan lain perkataan : hanja merupakan suatu réntétan fakta². Sesungguhnja hanja merupakan seréntétan kemungkinan², sedangkan adatkebiasaan² sosial jang semula mendjadi sebabnja, ikut ditentukan oléh banjak pertimbangan² jang datang dari luar. Peperangan misalnja bukanlah pertundjukan nafsu-berkelahi. Nafsuberkelahi seseorang hanjalah merupakan unsur ketjil sekali dalam diri manusia, sehingga tiada alasan mengapa ia akan mendjelma dalam hubungan antara suku. Diikalau sudah dimasukkan dalam struktur umum masjarakat, bentuknja mengikuti djalan pikiran lain, jang berbéda dengan ketjénderungan aseli. Nafsu-berkelahi hanjalah merupakan sentuhan kepada bola adat-kebiasaan - suatu sentuhan jang mungkin djuga ditahaii.

Tjara-menindjru sematjam ini terhadap perkembangan adatkebiasaan² memerlukan penindjauan-kembali terhadap alasan² jang berlaku, jang mempertahankan lembaga² tradisionil kita. Alasan² ini kebanjakan kali bertolak dari anggapan, bahwa dunia-manusia mustahil