Halaman:Pola-Pola Kebudajaan.pdf/20

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

21

ILMUPENGETAHUAN ADATKEBIASAAN


dan itulah sebabnja maka tak mungkin untuk mempeladjari agama sebagai gedjala kemanusiaan jang penting setjara objḗktif.

Kita merasa, bahwa perasaan unggul jang kita miliki itu bisa dimaafkan, setelah membatja uraian mengenai sikap keagamaan pada umumnja jang dianggap sjah. Se-tidak²nja kita telah membuang kebodohan jang chusus ini dan telah menjelidiki dan memperbandingkan agama². Akan tetapi kalau kita mengingat adanja sikap sematjam itu pula jang kini meluas dalam peradaban kita, jaitu prasangka djenisbangsa, maka kita agak ragu² apakah otjéktivitét kita dalam hal² keagamaan itu disebabkan karena kita memang sudah mengatasi sifat keanak²an, ataukah barangkali se-mata² karena agama tak lagi merupakan lapangan tempat terdjadinja médan pertempuran utama dalam kehidupan modérén kita ini. Dalam menghadapi masalah² dalam peradaban kita jang sungguh² penting, maka se-olah² kita sama sekali belum sampai pada pendirian jang objéktif, sebagaimana jang telah kita miliki dilapangan agama.

Dalam pada itu masih ada pula faktor lain, jang menjebabkan mengapa penjelidikan adatkebiasaan sedemikian lama dialpakan. Faktor ini lebih sukar lagi diatasi daripada jang baru kita uraikan diatas. Adatkebiasaan tak menarik perhatian para téoritikus dilapangan sosial karena adatkebiasaan ini ikut menentukan tjorak alam-pikirannja; adatkebiasaan merupakan lénsa ,dan tanpa ini para penjelidik sama sekali tak akan bisa melihat. Djusteru karena begitu penting, maka meréka tak melihatnja. Kebutaan ini sama sekali tak bersifat mystik. Apabila seorang penjelidik telah mengumpulkan banjak bahan², jang diperlukan untuk menjelidiki krédit² internasional atau menjelidiki mekanisme dalam beladjar atau narcisisme sebagai faktor psychoneurosis, maka ahli ékonomi, ahli psykologi atau psykiatér mengerdjakan kumpulan bahan² ini. Ia tak menghiraukan adanja kenjataan bahwa ada djenis organisasi² sosial lainnja, jang bisa membuat faktor² ini mempunjai arti jang lain sama sekali, jakni, bahwa ia tak menghiraukan adanja sjarat² dan sebab² kebudajaan. Ia berpendapat bahwa gedjala² jang diselidikinja berupa bentuk² jang ia kenal dan tak bisa lain daripada demikian itu adanja, dan ia menganggap gedjala² itu sebagai hal² mutlak karena semuanja merupakan bahan² jang harus dipikirkannja. Ia menganggap gedjala² tahun 1930 adalah Sifat Manusia pada umumnja, dan uraian mengenai gedjala² itu dianggapnja Ekonomi dan Psykilogi sebagai ilmupengetahuan² jang bersifat mutlak.

Dalam praktéknja hal ini mémang tak begitu menguatirkan. Anak² kita harus dididik dalam tradisi pedagogi kita dan olḗh karena itu analisa tentang prosés beladjar sungguh penting di-sekolah² kita. Maka itupun kita bisa memaafkan sikap atjuh tak atjuh jang sering diper-