Halaman:Pola-Pola Kebudajaan.pdf/123

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi
POLA-POLA KEBUDAIAAN

Semua pemilik désa boléh sadja menjebut namanja, sebaliknja ia tak boléh nama meréka, Ada berbagai alasan mengapa tjara pemakaian nama orang di Dobu tak sama dengan diperadaban Barat. Djikalau orang boléh menjebut suatu nama, maka itu berarti bahwa meréka jang menjebutnja itu boléh memperlakukan agak se-wénang² pemilik nama tsb. Setiap kali suatu désa memberi atau menerima hadiah, berhubungan dengan adanja pertunangan, pertukaran hadiah²-perkawinan jang tiap² tahun diperbaharui atau djika ada peristiwa-kematian, maka suami jang hanja selama setahun berada dirumah keluarga isterinja, harus meninggalkan rumah itu. Ia selalu diperlakukan sebagai orangluar.

Ini tak se-kali² merupakan segi² kedudukannja jang paling tak énak. Masih ada sengketa lain jang lebih penting lagi. Penduduk désa, tempat suami-isteri menetap, atjapkali mengetjam tingkah-laku suami (isteri) jang datang dari désa jain. Perkawinan dianggap oléh susu sebagai suatu penanaman modal jang penting, karena selalu ada pertukaran² benda antara kedua désa jang bersangkutan berhubung dengan ulangtahun perkawinan jang diiringi dengan upatjara² dari mulai perkawinan pada saat meninggalnja si isteri atau si suami. Orang² laki² dari garis-keturunan pihak ibu mempunjai hak ékonomi untuk memainkan, peranan jang aktip disini. Adalah mudah bagi seorang laki² atau wanita jang berada dalam désanja sendiri, pergi kesusunja sendiri, teristimewa saudara-laki² ibu, untuk minta bantuan djikalau ada sengketa dalam perkawinan, jang tak putus²nja terdjadi dikalangan orang² Dobu. Saudara-laki² ibu suka sekali memberi peringatan² keras didepan umum kepada orang² luar itu, atau mengusirnja dari désa dengan melemparkan kata²-maki²an jang kotor².

Kadang² ketegangan itu mengenai soal² seksuil. Dikalangan orang² Dobu tak ada jang pertjaja bahwa ada apa jang dinamakan kesetiaan dalam perkawinan, dan semua orang Dobu berkejakinan bahwa pertemuan antara seorang laki² dan perempuan meskipun untuk sebentar sadja, pasti mengandung maksud² seksuil. Meréka jang selaku orang luar hanja untuk suatu masa tertentu berada dalam désa, dengan lekas menuduh bahwa suami (isteri)nja tak setia, dan ketjurigaan ini biasanja memang beralasan. Dalam suasana jang penuh rasa-tjuriga ini adalah paling aman untuk mengadakan hubungan seksuil dengan „saudara-perempuan” atau „saudara-laki²” dari désanja sendiri. Selama tahun, dimana ia berada didésanja sendiri, ada kesempatan² paling baik, sedangkan bahaja² adikodratipun paling ketjil adanja. Pendapat umum sangat menentang perkawinan² antara „saudara-laki²” dan „saudara-perempuan” demikian itu. Perpetjahan dalam désa akan timbul, djikalau harus terdjadi pertukaran setjara paksa