hidup (life-adjustment education) dan harus didjaga agar ia tidak mendapat frustrasi karena sukarnja peladjaran. Untuk itu harus dimulai tjara-tjara mengadjar jang integral dan pembagian ilmu atas mata-mata-peladjaran tidaklah pada tempatnja. Dalam tahun 1930 John
Dewey sendiri, jang mendjadi perintis gagasan progressip tersebut, sudah mensinjalir adanja kekatjauan tudjuan difihak-fihak jang menamakan dirinja progressip. Memang ada reaksi-reaksi jang baik terhadap tradisionalisme dalam bentuk eksperimen beraneka ragam, akan tetapi harus disesalkan, demikian Dewey, karena mereka tidak mempunjai tudjuan tertentu. Jang ada hanjalah suatu konsepsi kebebasan jang berlebih-lebihan tanpa kesadaran akan tanggung-djawab.
Dari fihak masjarakat kritikan-kritikan atas pendidikan negeri makin menghebat sesudah Perang Dunia II. Ada 2 matjam kritik. Jang per-
tama memadjukan pendapat bahwa dengan metode progressip pendidikan Amerika bukan lagi djadi pembawa nilai-nilai kebudajaan dari masa lampau bangsa itu. Jang kedua mengkonstatir bahwa kepandaian murid-murid dalam mata-peladjaran dasar (batja-tulis-hitung) sudah djauh berkurang sebagai akibat tjara-tjara mengadjar jang progressip itu. Para pemimpin perusahaan, pabrik dan djawatan-djawatan sudah lama pula mengeluh bahwa tamatan sekolah menengah jang mendjadi pegawai sangat rendah mutu pengetahuannja. Orang-orang tua djuga
sering sangsi akan kemadjuan anak-anaknja, karena kemadjuan sering tidak dinjatakan dengan angka atau huruf, melainkan dengan komentar-komentar jang mirip lelutjon. Guru-guru sekolah menengah mengeluh bahwa murid-murid sampai ditangan mereka tanpa persiapan jang tjukup, karena seperti sudah dikatakan diatas kemampuan membatja pada mereka itu sering sama dengan kemampuan mengerti jang ada pada anak kelas 4 atau 5 sekolah rendah. Djadi tugas guru-guru sekolah menengah jang terutama ialah mengobati kekurangan itu (remedial teaching). Ditingkat perguruan tinggi djuga ternjata banjak jang gagal karena kurangnja kemampuan mengerti apa jang dibatjanja.
Sedjadjar dengan pertentangan tersebut diatas, terdapat pula suatu konflik antara mereka jang menamakan dirinja ”pendidik” (pedagoog,icator), jaitu biasanja tamatan perguruan tinggi pendidikan guru, dan orang-orang lain jang bekerdja dibidang pengadjaran, seperti dosen-dosen perguruan tinggi. Para dosen dalam ilmu-ilmu selain ilmu beranggapan bahwa sekolah-sekolah harus dikembalikan kepada
tugasnja jang semestinja, jaitu memberi latihan intelek dan djangan merupakan kelangsungan Taman Kanak-kanak sadja, alias pendidikan
penjesuaian dengan kehidupan.
Dapatlah dilihat bahwa jang mendjadi inti persoalan ini sebenarnja ialah pertanjaan: jang penting untuk diadjarkan itu apa ? Sudah kita singgung diatas bahwa dalam tahun 1940 Departemen Pendidikan sudah mengalah pada kebiasaan menjesuaikan kurikulum pada kemam-
129