ilmu pasti, ilmu alam, sedjarah dan bahasa-bahasa asing lainnja dan hal ini makin menjolok lagi karena kesukaran dimasa perang itu. Perlu
diingat bahwa mata-mata-peladjaran tersebut adalah peladjaran-peladjaran dasar, jang pada tahun-tahun sebelum perang oleh kaum progresip ditjap sebagai “akademis” atau “tradisionil”, jang memang perlu kalau orang akan terus keperguruan tinggi, tetapi tidak begitu berguna untuk keperluan hidup sehari-hari. Dalam tahun 1940 misalnja oleh Departemen Pendidikan di Washington ada dikeluarkan suatu brosur jang berdjudul: “What the High Schools Ought to Teach”, dimana diakui bahwa karena jang masuk sekolah menengah itu sudah lain djenisnja, artinja bukan lagi hanja mereka jang akan masuk perguruan tingsi, maka sekolah-sekolah terpaksa mengubah kurikulumnja. Jang diharapkan dari sekolah itu oleh rakjat sudah beraneka ragam,
bukan hanja persiapan untuk perguruan tinggi lagi. Djadi pendidikan menengah harus disesuaikan dengan kebutuhan semua anak muda
dan dengan tegas diakui bahwa kemampuan membatja dari banjak murid tidak lebih dari kemampuan dikelas 4 atau 5 sekolah rendah !
Baiklah kita bitjarakan disini suattu keadaan jang berlangsung sedjak tahun 1900 jang achirnja berakibat adanja suatu krisis filsafat pendidikan di Amerika Serikat. Pada tahun-tahun permulaan abad ini para pendidik dan rakjat Amerika terutama memusatkan perhatiannja pada perluasan fasilitas pendidikan, terutama pendidikan menengah, serta mutu pendidikan guru. Tugas guru sekolah rendah pada per-
mulaan abad ini ialah mengadjarkan sedjumlah dasar-dasar pengetahuan dan disekolah menengah mengadjarkan serumpun mata-peladjaran jang kemudian akan diudji. Sebaliknja pada pertengahan abad ke-20 ini siguru sudah berfungsi djamak, jaitu kombinasi antara mantri
klinik djiwa, ahli kemasjarakatan, ahli ilmu pasti dan alam, penuntun anak-anak serta petugas djawatan sosial. Djuga sering harus bertindak sebagai pemimpin kepanduan. Tudjuan pendidikan selama setengah abad itu sudah beralih dari “mengadjarkan” ilmu pengetahuan ke
“mendidik” kepribadian sianak sebagai keseluruhan.
Sedjak Perang Dunia I sudah ada sedjenis perang dingin dibidang filsafat pendidikan antara pengikut-pengikut mazhab “tradisionil”
(jang kemudian dinamai “essensialis”) dan pengandjur mazhab ”progressip” (kemudian dinamakan "modern"). Mazhab tradisionil menekankan karena waktu bersekolah adalah terbatas, maka jang perlu diadjarkan hanjalah dasar-dasar esensiil daripada ilmu pengetahuan itu, untuk mendjadi titik-tolak bagi simurid dalam kehidupannja di kemudian hari. Mazhab progressip mempertahankan bawa sekolah itu harus mentjerminkan keadaan masjarakat sekelilingnja dan anak-anak harus dipersiapkan untuk mendjadi warga jang haik bagi masjarakat
kelak. Djadi tugas pendidikan ialah menjesuaikan diri sianak untuk
128