Halaman:Memutuskan pertalian.pdf/60

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

mendapat suatu jawab yang pasti dalam pikirannya. Maka katanya, "Dengarlah keteranganku, apa sebabnya maka engkau tidak berhak kepada anakmu. Mudah-mudahan dengan keterangan saya yang pandak ini, maklumlah engkau hendaknya.

Sudah sejak zaman dahulu kala, sampai kini pun demikian juga, bahwa kita orang Minangkabau ini hidup bersuku-suku. Tiap-tiap suku atau kaum itu ada namanya masing-masing, misalnya: Tanjung, Pisang, Guci, Jambak dan sebagainya. Pada perkauman bangsa kita itu, si anak masuk kaum keluarga ibu atau mamaknya, sekali-kali tidak masuk kaum keluarga bapaknya. Umpamanya anakmu sendiri, tidaklah masuk orang Tanjung, yaitu kaummu, melainkan masuk orang Pisang, kaum keluarga mamaknya. Oleh karena itu mamaknyalah yang lebih berkuasa kepada kemanakannya, bukan bapaknya, karena bapak itu tidak masuk kaumnya. Mamaknya itulah yang harus memeliharanya, menanggung belanja, makan pakai si kemanakan itu. Jadi kewajiban mamak kepada kemanakan; tumbuh ditanam, gedang dilambuk, sakit dicarikan obat, rusuh membujuk, mati ditanam, hilang dicari, lulus diselami, siang dilihat, malam diperkalang. Mamaklah yang harus menunjuk mengajari kemanakannya, supaya jangan jadi cacat cela kemudian hari. Dialah yang wajib mengasuh kemanakannya, agar supaya kemanakan itu menjadi orang baik-baik kelak. Jika si kemanakan itu telah besar, mamaklah yang akan menjalankan dengan akal budinya, atau jerih payahnya mencarikan belanja atau mata pencaharian kemanakan itu. Dan kalau kemanakan akan dipersiterikan, perempuan akan dipersuamikan, mamak yang akan memilih atau mengikhtiarkan siapa yang patut akan jodoh kemanakan itu. Pendek kata, buruk baik, senang susah si kemanakan itu tanggungan mamaknya semata-mata, bukan kewajiban bapaknya. Jika misalnya kemanakan itu menjadi orang baik-baik dan ternama kelak, tidaklah si bapak yang mendapat kemuliaan, melainkan keluarga mamaknya juga.

"Demikian pula halnya engkau ini ! Meskipun sudah beranak di rumah isterimu, engkau tak berhak apa-apa di rumah itu. Baik atau buruk nasib anakmu itu kemudian hari, apa pedulimu. Tak ada kewajibanmu, bahwa engkau mesti mengasuh anakmu itu, karena hal itu kewajiban mamaknya jua. Bahkan tak ada paedahnya bagimu, manakala anakmu itu menjadi orang baik-baik kelak. Dan jika diizinkan mamaknya, engkau asuh jua anakmu dan menjadi orang baik-baik kelak, tentu kaum keluarganya yang beruntung.

62