Halaman:Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana.pdf/26

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

yang keluar dari pakem-pakem hukum acara konvensional.[1] Gugatan perdata perlu ditempatkan sebagai upaya hukum yang utama di samping upaya secara pidana, bukan sekedar bersifat fakultatif atau komplemen dari hukum pidana, sebagaimana diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu, diperlukan konsep pengembalian keuangan negara yang progresif, misalnya dengan mengharmonisasikan pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) Tahun 2003.

Dalam rangka pengembalian uang hasil korupsi kepada negara, tampaknya ketentuan yang terdapat dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR) tidaklah cukup memadai, dalam hal ini berkenaan dengan penerapan sanksi pengembalian kerugian (uang pengganti) atau denda. Ketentuan tersebut tidak mudah untuk diterapkan oleh hakim dan sering tidak dilaksanakan karena pelaku lebih memilih dengan pidana atau kurungan pengganti atau karena keadaan harta benda terpidana tidak mencukupi.[2]

Berdasarkan uraian di atas, terlihat adanya kebutuhan untuk merekonstruksi sistem hukum pidana di Indonesia dengan mengatur mengenai penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana di dalam suatu undang-undang. Pengaturan tersebut selain harus komprehensif juga harus terintegrasi dengan pengaturan lain agar undang-undang yang akan disusun bisa dilaksanakan secara efektif dan mampu


  1. Mujahid A. Latief, ibid.
  2. Yenti Garnasih, Asset Recovery Act sebagai strategi dalam pengembalian aset hasil korupsi, dalam Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 7 No. 4, (Jakarta, 2010), hal. 630.

~19~