Halaman:Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana.pdf/177

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Sebenarnya pengembalian kerugian negara melalui mekanisme tersebut di atas sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah diatur (Pasal 34 Ayat (3)), namun demikian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 melengkapinya dengan memberikan ketentuan dalam hal pembayaran uang pengganti, dengan pengganti berupa pidana penjara yang tidak boleh melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya. Lain halnya dengan mekanisme melalui instrumen perdata, hal tersebut memang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.


Selain itu, Pasal 37 Ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juga mengatur tentang kewajiban terdakwa menerangkan asal-usul harta bendanya, baik seluruh berupa harta benda atas namanya sendiri maupun milik istrinya, anaknya dan harta pihak lain yang diduga mempunyai hubungan dengan perbuatan korupsi yang didakwakan kepadanya dan apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa hartanya (yang tidak seimbang dengan penghasilannya) bukan berasal dari korupsi, maka hartanya dianggap diperoleh dari perbuatan korupsi (illicit enrichment) dan hakim berwenang merampasnya.


Konsekuensi logis dari pengunaan instrumen pidana adalah membawa harta atau aset koruptor ke dalam sidang pengadilan tentunya harus didahului dengan tindakan penyitaan oleh penyidik dalam tahap penyidikan. Aset koruptor yang disita penyidik itu, oleh jaksa penuntut umum diajukan ke depan persidangan lazim disebut sebagai barang bukti. Dan upaya paksa berupa kewenangan

~170~