Halaman:Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana.pdf/172

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Dalam perkembangan terakhir di dunia internasional, penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menjadi bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan, seperti yang tercantum dalam UNTOC, UNCAC, yang keduanya telah diratifikasi oleh Indonesia, namun Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang sejalan dengan perampasan aset berdasarkan dua konvensi internasional tersebut, sehingga upaya pengembalian aset tindak pidana yang berada di luar negeri menjadi sulit untuk diimplementasikan karena belum adanya ketentuan yang sama.


Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dinilai belum secara komprehensif dan rinci mengatur tentang perampasan aset yang terkait dengan tindak pidana, dan masih memiliki banyak kekurangan (loophole) jika dibandingkan dengan Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) yang direkomendasikan oleh PBB dan lembaga-lembaga internasional lainnya. NCB digunakan apabila proceeding pidana yang kemudian diikuti dengan pengambilalihan aset (confiscation) tidak dapat dilakukan, yang bisa diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain: (i) pemilik aset telah meninggal dunia; (ii) berakhirnya proses pidana karena terdakwa bebas; (iii) penuntutan pidana terjadi dan berhasil tetapi pengambilalihan aset tidak berhasil; (iv) terdakwa tidak berada dalam batas jurisdiksi, nama pemilik aset tidak diketahui; dan (v) tidak ada bukti yang cukup untuk mengawali gugatan pidana.


Memperhatikan perkembangan hukum pidana internasional di atas, maka konsekuensi dari ratifikasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, maka perlu dirumuskan

~165~