Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/78

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

perlihatkan tanda engkau jantan,
jangan takut tanah akan merah,
Satu hilang, kedua terbilang,
sebelum ajal berpantang mati.
Jika di dalam kebenaran,
Biarpun putus leher dipancung
setapak janganlah engkau surut.

Petuah tersebut memiliki makna yang sangat dalam, yang memberi pengajaran pada laki-laki Minang bagaimana bersikap hidup di rantau orang. Hidup di perantauan hendaklah kita selalu merendahkan diri. Jangan pernah bersikap sombong karena kita hidup di negeri orang. Jika ingin berhasil di rantau orang, jangan pernah menyerah apabila menemukan kesukaran, bagaimana pun besarnya kesulitan tersebut. Hadapilah dengan hati yang lapang dan semangat juang yang tinggi dalam menghadapi segala rintangan karena di balik kesusahan pasti sudah menanti kemudahan, yang jika kita sabar pasti akan diperoleh apa yang dicita-citakan.

Menurut Naim (1984) salah satu faktor yang mendorong orang Minangkabau, khususnya laki-laki Minang, untuk merantau adalah segi sosial kejiwaan. Kedudukan laki- laki Minang yang serba terkatung-katung antara dua rumah menyebabkan laki-laki Minang selalu merasa risih dan memiliki rasa gelisah. Di rumah istrinya ia dianggap sebagai tamu (samando). Dia dihormati, tetapi tanpa hak dan kekuasaan. Sementara itu, di rumah ibunya dia didudukkan sebagai mamak, sebagai pengawal keluarga, tetapi tanpa hak untuk juga ikut menikmati hasil dari sawah ladang yang dapat ia bawa ke rumah istrinya.

Di rumah ibunya ia juga tidak memiliki kamar karena semua kamar yang ada diperuntukkan bagi saudara-saudara perempuannya untuk menerima suami-suami mereka. Hal tersebut mengakibatkan laki-laki merasa tidak memiliki hak apa-apa. Sementara itu, masyarakat akan memandang rendah kepadanya jika ia hanya mondar-madir di kedua rumah

tersebut dan menghabiskan waktu di rumah istrinya atau di

66