Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/77

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

memutuskan hubungan dengan tanah leluhurnya. Hal itu juga terjadi pada perantau Minang yang memutuskan hubungan dengan kampung halamannya.

Hal tersebut tentu saja tidak terjadi pada semua orang Minangkabau yang memutuskan untuk merantau karena bagi Orang Minangkabau merantau bukanlah pelarian diri dari ikatan sosialnya. Merantau bukan usaha untuk “berputus rotan” dengan lingkungannya. Merantau bagi laki-laki Minang merupakan satu cara yang dianggap baik untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Merantau dianggap sebagai realisasi dari bentuk tanggung jawab terhadap keluarga, kaum, dan suku. Kebiasaan merantau dipandang oleh orang Minangkabau Sebagai Satu cara untuk meng-angkat harga dirinya dan harga diri keluarga dan kaumnya.

Selain itu, bagi laki-laki Minang merantau merupakan suatu pengalaman baru yang berbeda dengan pengalaman hidup di dalam lingkungannya. Ketika merantau, laki-laki Minang harus berpisah dengan orang-orang yang dicintainya. Berpisah dengan keluarga dan kaum kerabatnya. Hal itu tentu Sangat berat bagi mereka yang selama ini terbiasa dengan keberadaannya di tengah keluarga mereka. Untuk itu, laki-laki Minang memerlukan kekuatan batin dan kemauan yang keras untuk bertahan hidup jauh dari keluarganya. Mereka tidak boleh cengeng dan membuang sikap romantik yang Masih melekat dalam diri mereka, seperti kata pepatah “sayang anak ditangiskan, sayang kampung ditinggalkan" .

Proses pendewasaan diri yang terjadi dengan adanya Pengalaman merantau menuntut kekerasan hati dari si Perantau itu sendiri. Kekerasan hati ini mutlak ada untuk Menghadapi berbagai tantangan di rantau, seperti petuah yang dikutip Faruk (1988) berikut ini.

Kalau anak pergi merantau,

Mandilah di bawah-bawah,

Ambillah air di hilir-hilir

Tetapi, kalau ditutup orang bandar sawah,

dikisarnya tiang batas,

busungkanlah dada engkau,