Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/79

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

rumah ibunya. Oleh karena itulah, banyak laki-laki Minang yang menghabiskan waktunya di lepau-lepau.

Menghabiskan waktu di lepau-lepau itu juga menyebabkan laki-laki Minang dianggap rendah oleh Masyarakat. Untuk itu, laki-laki Minang memutuskan untuk bekerja demi kepentingan kedua rumah tersebut. Dorongan untuk mencari kerja karena rasa tanggung jawab terhadap dua rumah inilah, yakni terhadap anak dan kemenakan, yang secara sosiologis sekaligus psikologis telah ikut menjawab terhadap dorongan untuk merantau. Dengan meninggalkan rumah, barulah laki-laki Minang mendapatkan identitas kelaki- lakiannya. Identitas tersebut dipandang sangat penting dan Sangat ditonjolkan karena proses pencapaiannya pun tidaklah mudah. Seperti apa yang dinyatakan oleh Sa'danoer (1983) yang menyimpulkan hal tersebut, setelah mengungkapkan bahwa masa kecil laki-laki Minangkabau, ketika masih tinggal di rumah penuh dengan keperempuanan.

Hal itu senada dengan apa yang diungkapkan oleh Naim (1984: 277). Ia menguraikan bahwa sejak umur 6-7 tahun laki-laki Minangkabau sudah harus meninggalkan rumah dan hidup di surau. Secara tidak disadarinya, laki-laki Minangkabau telah mulai melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kehidupan rumah. Hal itu juga berarti bahwa di dalam rumah-rumah Minangkabau tidak ada lagi penghuni laki-laki dewasa karena mereka sudah hidup di surau. Dengan alasan meninggalkan kehidupan yang penuh dengan keperempuanan itulah, maka laki-laki Minangkabau Memutuskan untuk merantau dan membuktikan pada masyarakatnya bahwa mereka juga bisa bekerja dan

Memenuhi tanggung jawab mereka pada keluarga.

67