untuk hidup dalam persaingan secara terus-menerus. Persaingan itu dilakukan orang Minang demi harga diri yang diinginkannya tadi. Harga diri yang terwujud dalam kemuliaan, kenamaan, kepintaran, kekayaan, dan menjadi sama dengan orang lain inilah yang diinginkan oleh orang Minang. Nilai tersebut dicapai dari persaingan dalam melawan dunia orang lain. Orang Minang beranggapan bahwa jika orang lain mampu, tentu mereka pun juga mampu. Begitu juga sebaliknya, jika mereka mampa, tentu orang lain pun juga mampu.
Setiap individu dianugerahi ego oleh Yang Mahakuasa. Ego yang dimiliki oleh manusia itu membuahkan ambisi dan persaingan antarmanusia. Persaingan tersebut pada akhirnya dapat berubah menjadi pertarungan untuk saling mengalahkan. Pertarungan tersebut mengakibatkan terjadinya disharmoni sosial yang tentu saja tidak sesuai dengan falsafah hidup orang Minang yang menjadikan alam sebagai guru itu. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, masyarakat Minang membuat suatu hukum dan aturan yang mengikat setiap individu agar tetap terkendali. Selain hukum dan aturan tersebut, masyarakat Minang juga mengembangkan berbagai petatah, petitih, pituah (petuah), dan mamangan adat yang mengarah pada anjuran agar orang menjadi tahu diri dan mawas diri (Navis, 1984:63).
Petatah dan sejenisnya itu perlu diberikan untuk ditanamkan pada masyarakat Minang bahwa persaingan itu perlu ada, tetapi keselarasan untuk menjaga keseimbangan pun sama pentingnya. Navis (1984:63) memberikan satu contoh petuah yang paling penting dalam menjaga keseimbangan itu, yakni kurang sio-sio, labial ancak-ancak (kurang adalah sia-sia, berlebih adalah kegilaan). Petuah itu memiliki makna bahwa orang yang berkekurangan dipandang sebagai makhluk yang sia-sia, tetapi adalah suatu kegilaan jika
menganggap diri lebih dari orang lain. Sesuai dengan alam pikiran orang Minang, konsep harga diri ini berlaku untuk semua orang, baik yang memiliki posisi yang lemah maupun yang berposisi kuat. Alam
53