Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/172

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

yang bertentangan dengan keinginannya sendiri. Namun, kesediaan dan keberanian serta didukung oleh konsep rasa yang ada dalam diri tokoh membuat mereka dengan rela menerima hal yang bertentangan tersebut. Seperti dalam Pertemuan, didorong oleh rasa hormat dan kasih pada orang tua, akhirnya ia menerima keputusan mereka untuk menikahkannya dengan anak mamaknya.

“Bapak!” udjar Masri dengan chidmatnja, sambil menarik napas pandjang. “Benarlah seperti kata Bapak itu. Sebagai kewadjiban seorang anak, harus menurut kata orang tuanja, segala nasihat bapa itu, djika siang hamba pertongkat, bila malam hamba perkalang. Bapapun sudah tahu djuga, semendjak kecil hamba sampai sekarang, belum pernah hamba bersutan dimata, beradja dihati sadja, hanja senantiasa bapa, ibu dan mamak djugalah, djika pergi akan tempat bertanja, pulang tempat berberita bagi hamba.” (Pamuntjak, 1961:28).

Berpendirian teguh dan berani menolak kebiasaan yang berlaku juga terlihat pada tokoh Ramli dalam Karena Mentua, Pandangannya terhadap bentuk perkawinan yang ideal bagi orang Minang, vaitu mengawini wanita dari negeri sendiri, bukan orang asing, menunjukkan sikapnya sebagai laki-laki. Ia menolak kebiasaan seperti itu. Baginya perempuan dari mana pun asalnya adalah sama. Yang akan menjalani kehidupan rumah tangga adalah dia sendiri. Jadi, dengan perempuan dari daerah mana pun ia menikah tidak jadi masalah. Yang paling penting adalah perasaan keduanya yang saling mencintai dan bersedia hidup dalam suka dan duka dalam sebuah rumah tangga.

“Sekalian syarat yang Ibu sebut itu bukantah ada pada Suriati-maksudku-bagiku sendiri dan bahkan bagi Ibu juga selama ini? Dan lebih dari itu: bini bagiku bukan untuk penutup malu orang lain, bukan untuk perhiasan orang senegeri,160