Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/171

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

lebih mendahulukan cita-citanya. Ia ingin berbakti dan membahagiakan orang tuanya. Jika ia memutuskan untuk cepat-cepat menikah, tentu ia tidak dapat berbakti dengan penuh pada orang tua yang telah bersusah payah menyekolahkannya hingga ia bisa menyelesaikan pendidikannya. Baginya, cita-cita yang harus diutamakan, setelah itu baru memikirkan perkawinan.

“Betul-betul, Nurdin,” kata Masri dengan sebenarnya, “belumlah ada tumbuh Hita-tjita jang sedemikian dalam hati sanubari saja. Tjuma saja masih mengingat pengadjaran saja sadja. Betul ada djuga kawan-kawan saja jang telah beristeri, dan banjak jang sudah bertunangan dan ada pula jang sedang asjik bertjengkrama didalam taman mundam berahi, tetapi saja tak dapatlah begitu. Saja mesti memikirkan orang tua saja, jang berusaha pajah mentjarikan belandja saja, jang membanting tulang berhudjan berpanas mengusahakan sawah ladangnja dan dengan buah djerih-pajahnja itu akan saja sia-siakan pula. O, tidak Nurdin! Lagi pula orang jang sedang menduduki bangku sekolah seperti saja ini bolehlah dikatakan sebagai orang jang sedang berenang tengah lautan entah akan tertjapai tanah tepi, entah tidak. Berapa banjak dan besarnja ombak dan gelombang jang menimparja, rasa tak dapat diperikan. Apakah akan djadinja kelak, djika murid jang telah bertunangan itu, lebih-lebih jang sudah beristeri, berdjalan tidak sampai kebatas, berlajar tidak sampai kepulau (Pamuntjak, 1961:9).

Konsep kejantanan mental di dalam novel berlatar Minangkabau juga terwujud dalam bentuk keboranian dan kesediaan menerima suatu keadaan yang terkadang bertentangan dengan pandangan tokoh. Perjuangan untuk mencapai cita-cita harus terhalang oleh keinginan orang lain