Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/145

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Lepau nasi itu terdiri di tepi jalan raya. Pintu dan jendelanya masih terbuka. Lampu menyala dengan terang-menderang. Sebelah ke dalam dekat kedaian-tempat piring-piring dan tempat makanan-makanan terletak berjajar-jajar, kelihatan seorang laki-laki duduk di atas sebuah kursi kayu, yang tersandar ke dinding. Ia tiada berbaju, hanya berkaus sempit saja, sehingga nyata lipatan kulit perutnya yang gendut dan bentuk dadanya yang bidang lagi busung. Dan ia bercelana panjang daripada kain batik, yang ditutup dengan sehelai kain merekan hingga lutut dan kopiah sutra hitam yang lunak. Kepalanya terangguk-angguk, alamat ia telah mengantuk, meskipun malam itu baru kira-kira pukul delapan. Ya, barangkali karena ia teramat letih. Ia bekerja berat pada siang hari itu, waktu pasar ramai. Di ruang tengah, yang dipergunakan pada siang hari untuk tempat makan orang yang biasa bersila dan malam hari untuk tempat tidur orang dagang, pada ketika itu kelihatan orang tiga kelompok. Masing-masing dengan lakunya dan kesenangannya. Sekelompok di sudut kiri, yaitr pada bagian yang tiada berlampu, hanya samar-samar muka kena cahaya lampu dari kedaian. Mereka itu bersalung dan bernyanyi melagukan pantun dagang dengan sedihnya. Sekelompok lagi di sudut kanan. Mereka itu sedang bekerja menyusun barang-barang, yang akan dibawanya ke pasar pula pada keesokan harinya, yaitu kelompok Marah Adil dengan dua tiga orang kawannya. Dan kelompok yang ketiga di tengah-tengah ruang: di situ ada beberapa orang, yang bercakap-cakap dan berkelakar dengan riang (Iskandar, 2002:42-43).

133