Hatinya belum hendak pulang, meskipun hari sudah lewat setengah dua belas. Bukankah umpat, maki vang akan didapatnya di rumah, kalau istrinya belum tidur? Masih teringat olehnya perkara vang kemudian sekali terjadi, yang tak disangka-sangkanya sedikit juga. Istrinya yang disangkanva berpaham dahulu, yang dahulu sangat dimuliakannya, karena ia keluaran Sekolah Satu dan pandai berbahasa Belanda, telah berpuluh-puluh membaca kitab, sekarang memukulnya dengan kayu, mengeluarkan perkataan yang keji, mengumpat dan menyumpah. Dan hal ini bukanlah sekali diperbuatnya (Selasih, 2002:99).
Konsep harga diri dan malu jugalah yang mendorang mamak dan ayah Masri untuk memaksanya menikah dengan Chamisah, anak mamaknya. Menurut mereka perkawinan dengan anak mamak itulah vang paling ideal bagi Masri. Perkawinan yang akan membahagiakan semua kaum kerabat dan melepaskan mereka dari rasa malu.
Telah seajun kami seperti berbuai, sudah setjiap bagai anak ajam, sedentji bagai besi, sekebat bagi sirih, sudah putus hitungan kami diasak laju ditjabut mati, jang akan mendjadi isterimu, ialah Chamisah, anak Datuk Tumenggung, mamakmu ini. Betul banjak djuga orang jang lain, dikampung kita ini jang memintamu untuk djadi menantunja, tetapi kamu dengan Chamisah sudah bertemu ruas dengan buku, sudah bagai sirih pulang kegagangnyja, seperti pinang pulang ketampuknja dan bagai ajam pulang kepautan. Lagi pula, awak sama awak, kuah tertunggang kenasi, nasi akan dimakan djuyga. Djika disampaikan Tuhan, kalau diberkati Allah sadja maksud kami itu, segala pentjaharianmu tentulah tidak akan sia-sia, tidak akan djatuh ketangan
117