Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/130

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

orang lain, hanja kita sekaum sekeluarga djuga jang akan beruntung (Pamuntjak, 1961:36).

Pandangan Masri akan makna sebuah perkawinan tidak dianggap oleh orang tuanya. Bagi mereka perkawinannya dengan Chamisah adalah perkawinan yang paling ideal. Ketidakcocokan Masri dengan Chamisah pasti bisa disesuaikan dalam kehidupan berumah tangga nantinya. Rasa cinta nanti juga akan tumbuh dengan sendirinya, begitu pandangan orang tua dan mamaknya.

Pada hemat hamba, dua orang suami-isteri itu mestilah terikat erat dan tersimpai teguh dengan tali kasih-sajang, jakni pertjintaan jang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hudjan. Sebab seperti kata bapa tadi, senang dan susah silih berganti. Djika tiba kesusahan jang tidak diminta-minta, tentulah suami dan isteri itu, terapung sama hanjut, terendam sama basah, menjuruk sama bungkuk dan melompat sama patah, tidak mendua hati lagi, sama-sama rela menanggung kesusahan (Pamuntjak, 1961:40).

Konsep malu terhadap bentuk perkawinan itu juga telihat dalam novel Darah Muda. Ibu Noerdin tidak menyetujui hubungannya dengan Rukmini karena ia bukan gadis Minang. Pada dasarnya ia menyukai pribadi Rukmini. Namun, rasa malunya akan bermenantukan orang asinglah yang mendorong ibu Nurdin untuk menghalangi niat anaknya menikahi Rukmini. Mereka adalah orang berasal yang patut dijemput. Kedatangan Nurdin, yang berulang-ulang bertamu ke rumah Rukmini membuat hati ibu Nurdin tidak senang. Menurut pendapatnya, tidak pantas Nurdin memperlihatkan hatinva sedemikian rupa karena Nurdin bukanlah orang yang tidak patut. Nurdin harus menjaga adat dan memelihara harga dirinya, jangan dipermurah saja. Dalam pikiran ibu Nurdin, jika memang ibu Rukmini menyetujui hubungan anaknya dengan Nurdin, mengapa ia tidak datang meminang Nurdin

118