Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/119

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Dengan menikahi seorang perempuan Belanda, tidak dengan sendirinya menjadikan Hanafi seorang Belanda. Ia tidak menyadari hal itu. Ia tidak periksa. Selain itu, ia juga tidak mempertimbangkan perasaan kaum kerabatnya dengan perkawinannya tersebut. Seolah-olah tidak ada lagi perempuan dari kaumnya yang cocok untuk dijadikan istri. Secara sadar ia telah melukai hati ibu dan kaum kerabatnya.


Dalam Kalau tak Untung, Masrul juga kurang periksa ketika memutuskan untuk menikah dengan Muslina. Keadaan dirinya yang seorang diri di perantauan mengakibatkan ia tidak bisa mengendalikan dirinya. Meskipun ia telah ditunangkan dengan anak mamaknya, ia tetap memberikan harapan yang besar pada seorang gadis di kota tempat ia mencari nafkah. Ibarat sebuah pepatah, harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan di lepaskan. Karena berharap mendapat sesuatu yang menurutnya lebih baik, ia melepaskan sesuatu yang sudah berada di tangannya tanpa menimbang baik buruknya. Tindakan ceroboh tersebut diambil sendiri oleh Masrul tanpa meminta izin atau restu dari kedua orang tuanya.


Tetapi rupanya setelah anakanda pikir panjang lebar dan anakanda menung-menungkan dalam dua tahun, tak dapat rasanya anakanda menepati janji anakanda itu. Engku guru gedang itu kaya dan beranak seorang saja. Anaknya itu bagus dan perangainya serta berkepandaian. Rasanya tak akan menyesal Ayahanda-Bunda nanti bermenantukan dia. Jika ada izin Ayahanda-Bunda, pekerjaan ini akan lekas dilangsungkan, karena orang itu minta bergegas. Sekali lagi anakanda minta ampun dan minta kerelaan Ayahanda - Bunda (Selasih, 2002:82).


Pada saat pesta perkawinan dilangsungkan, mulailah Masrul merasakan untung dan rugi nasib dirinya seorang diri perantauan. Seharusnya, perkawinan itu mendatangkan di

107