Lompat ke isi

Halaman:Kalimantan.pdf/47

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Perang kolonial itu ternjata djuga tidak membawa hasil kepada Belanda, karena dengan demikian merea memperkosa perdjandjian Linggardjati, dan bagi rakjat Tanah Seberang chususnja di Kalimantan batas daerah jang lazim disebut Linggardjati sudah hapus. Kesempatan ini dipergunakan oleh anasir-anasir Republikein untuk melemahkan kedudukan Belanda. Perkosaan terhadap Linggadjati ini pada hakekatnja amat merugikan Belanda, karena soal Indonesia sedjak waktu itu sudah merupakan soal internasional, dalam mana Dewan Keamanan turut serta membitjarakannja.

Perang kolonial jang dilakukan dengan tidak semena-menanja itu mendapat tantangan dari rakjat Kalimantan, ketjuali Kepala Daerah Kalimantan Barat. Sultan Hamid jang dengan gagah perkasa menjertai tindakan militer Belanda dengan andjuran „Bahwa djika tentera Belanda tidak sanggup menghantjur-luluhkan Republik Indonesia, maka tentera Kalimantan Barat akan menghantjurkan Republik".

Sebagai akibat langsung jang diderita Belanda dari tindakan militernja itu, ialah adanja perpetjahan dikalangan „Pemimpin-pemimpin" jang pro Belanda dalam Dewan-dewan di Kalimantan, karena perkosaan Linggardjati menimbulkan pro dan kontra diantara mereka sendiri. Sementara itu Partai-partai Politik jang mewakili aliran Republik umumnja mentjela tindakan Belanda jang tidak senonoh itu. Partai-partai seperti Gapi di Kalimantan Barat, S.K.I. di Kalimantan Selatan, dan I.N.I di Kalimantan Timur sudah merupakan suatu front nasional jang memperdjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tetapi mereka tetap tidak rela kerdjasama dengan Belanda, sekalipun Belanda senantiasa berusaha untuk mendekatinja.

Sementara itu di Kalimantan Timur telah terdjadi perdjandjian politik, atau lebih tegas „Politik kontrak" antara „Dewan Kutai" dengan pemerintah Hindia-Belanda. „Politik kontrak" ini dirumuskan dalam satu peraturan jang sangat mengikat, jang hampir tidak ada perbedaannja dengan apa jang telah dilakukan oleh Sutan Hamid dengan pemerintah Belanda. Dengan demikian maka sudah terang, bahwa otonomi jang ingin diberikan Belanda dengan seluas-luasnja tidak dapat berkembang sebagaimana mestinja, karena telah dibatasi dengan „Politik kontrak".

Selama „Politik kontrak" itu masih tetap didjalankan dasar dari „Dewan Kutai", maka bagaimanapun djuga untuk meletakkan dasar dan warna demokrasi kedalam „Dewan" itu, akan sia-sia sadja. „Politik kontrak" adalah sebenarnja satu „Product kolonial" jang didalam pengertian „Het kolonialisme is dood", tidak lagi pada tempatnja, malah harus diharamkan. Oleh karena itu „Politik kontrak" itu jang pada hakekatnja tidak lain daripada penghambatan dan pembendungan atas kemurnian demokrasi, sebenarnja sudah harus disimpan dalam museum.

Dalam suatu sidang „Dewan Kutai" mereka telah menerima sebuah most, jang menghendaki agar tjara dan perhubungan antara „Pemerintah Keradjaan Kutai" dengan Pemerintah Indonesia, disesuaikan dengan mana peralihan sekarang. Sikap tegas dari sebagian anggauta „Dewan Kutai" tersebut dapatlah diartikan, bahwa mereka tidak ingin melihat kelandjutan daripada Politik kontrak itu.

43