Halaman:Kalimantan.pdf/110

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

untuk sementara waktu, sampai akan diganti setelah adanja peraturan-peraturan baru. Sedjak itu Swapradja sudah beku, dan tidak lagi mendjadi sematjam pemerintah bajangan jang menjampingi pemerintah daerah jang sebenarnja.

Sedang reaksi dari pihak Swapradja Kalimantan Barat terhadap tindakan-tindakan pemerintah daerah itu, boleh dikatakan tidak ada, karena mereka tidak sanggup untuk mempertahankannja, tidak sadja karena tidak ada backing-nja, melainkan djuga karena Swapradja-swapradja di Kalimantan Barat jang para Sultannja, Panembahannja, Pangerannja sudah disapu bersih oleh Djepang, sedang Swapradja jang dibentuk Belanda setelah mendjadjah Kalimantan Barat kembali, tidak amat sukar untuk membekukannja.

Kelemahan-kelemahan jang terdapat dalam kalangan Swapradja, apalagi setelah „orang kuat" dari Kalimantan Barat, Sultan Hamid ditangkap oleh Pemerintah, maka urgensi dari Swapradja sebenarnja sudah lenjap, dan karenanja mereka tunduk diatas kehendak pemerintah daerah. Sementara itu memang ada keinsafan dari pihak Swapradja sendiri untuk dengan sukarela menjerahkan kekuasaannja, seperti halnja jang terdjadi di Sambas, Sekadau dan Ketapang, asal sadja mereka didjamin kedudukannja dalam pemerintahan daerah. Bagi Pemerintah sikap jang demikian ini mempermudah tindakan selandjutnja mengenai Swapradja itu, dan karenanja Peraturan Pemerintah jang menetapkan Bupati-bupati, Pati dan Wedana dalam bekas daerah Swapradja tidak mendapat tantangan sama sekali. Apalagi daerah-daerah tersebut akan diberikan kedudukan otonomi jang luas, jang memungkinkan lantjarnja pembangunan-pembangunan didaerah tersebut.

Dalam menetapkan luasnja daerah pemerintahan otonomi dalam tingkatan bawahan propinsi harus djuga diingat kedudukan Swapradja, jaitu untuk memenuhi ketentuan dalam fasal 18 Undang-undang Dasar Republik Indonesia, bahwa pembagian daerah Kalimantan atas dasar besar dan ketjil ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat antara lain hak-hak asalusul dalam daerah-daerah jang bersifat istimewa. Dari pihak Sultan, Kepala Swapradja Kalimantan tidak keberatan terhadap penundjukkan daerahnja sebagai daerah otonom tingkatan kabupaten. Hanja mereka tidak dapat menjetudjui gelaran „bupati" untuk kepala Swapradja. Perasaan jang mendjadi dasar keberatan terhadap gelaran ini dapat difahami, untuk susunan pemerintahan jang dikehendaki oleh Undang-undang No. 22/1948, maka jang penting bukanlah gelaran kepada daerah, melainkan tjorak dan isi jang digambarkan oleh fasal 18 Undang-undang Dasar dengan dasar permusjawaratan dalam sistim pemerintahan negara.

Swapradja jang terutama memenuhi sjarat untuk ditetapkan sebagai daerah otonom tingkat kabupaten ialah Swapradja Kutai. Luasnja daerah ini, kekajaan alam dan bahan -bahan pertambangan, minjak tanah, arang batu, mas dan sebagainja, kekajaan sungai-sungainja, danau-danaunja jang penuh dengan ikan, serta faktor-faktor lain memberikan penuh djaminan akan perkembangan ekonomis. Pada waktu itu Swapradja Kutai dibagi atas lima kepatihan jang kedudukannja sama dengan kewedanaan di Djawa, sedang djumlah penduduknja tidak

kurang dari pada 225.000 djiwa. Kedudukannja ditengah-tengah masjarakat merupakan suatu kenjataan, anggaran tahun 1949 mengenai dinas biasa menundjukkan djumlah pengeluaran sebesar ƒ 9.324.297 dan penerimaan sebesar

106