Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/84

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

lebih hasrat daripada segala jantan 5)

Aku menatapnya dan tersenyum. Mungkin baginya senyumanku adalah satu cemooban yang dalam karena setiap puisi yang ia berikan tidak bisa dicerna akal yang jernih. Seakan ia merindukan belaian seseorang. Seseorang? Lelakikah? Atau...

“Aku rasa kau terlalu berharap pada satu hal yang telah membuatmu gila.”

“Ya! Aku kira begitu. Aku sudah gila dalam hasratku yang tak terkendali. Tapi, kau tak mengerti. Kau tak akan pernah mengerti, Nin.”

Ia menatapku, tajam. Seperti seekor harimau yang menemukan seekor kijang di tengah hutan belantara. Namun, sang kijang tidak lari, tapi pasrah menghadapi musuh yang akan menelannya mentah-mentah. Aku cuma bisa meneguk liur. Tiba-tiba kurasa tenggorokanku menjadi kering. Di taman, di kuntum bunga-bunga, kupu-kupu berebutan mengisap madu, lalu berterbangan riang menuju udara. Sangat riang. Aku mencoba mengalihkan pandangan dari tatapannya, Matahari mulai naik. Pelan-pelan meninggalkan pagi yang ramah.

Tidak lama sesudahnya, Air mengambil kertas lagi dan menulis sesuatu. Aku hanya bisa memandangnya. Seakan kurasakan detak jantungnya, kencang, bergemuruh, berpacu dalam debar yang bergetar. Setelah ia menulis, ia menatap ke arahku dan memberikan kertas itu. Entah mengapa, aku tiba-tiba berharap, ini lembaran yang terakhir yang diberikannya.

Lalu, ia berdiri dan berjalan menuju jembatan yang membelah tengah-tengah kolam. Sebelumnya ia memetik setangkai mawar putih dan menciuminya dengan penuh nafsu. Tak lama, ia membelah-belah setiap kelopak bunga dan menaburkannya ke tengah kolam. Menatap ikan yang sedang berdansa dengan kelopak bunga tadi, penuh dengan keceriaan. Sesekali ia tersenyum tanpa sadar. Seperti orang gila yang berkhayal menari dengan seorang bidadari yang sangat cantik.

“Bacalah!” ucapnya lagi.


72