Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/83

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

kesendiriannya di sana. Tapi, ketika kulihat matanya penuh harap, aku seakan tidak tega untuk menolaknya.

“Air, ada apa? Apa kau merindukannya lagi?” tanyaku memulai ketika ia diam saja. Wajahnya gelisah dan seolah ada sesuatu yang disembunyikannya.

“Tidak!” jawabnya datar, seakan ia resah dengan pertanyaanku.

“Sudah kukatakan, kau tidak perlu mengingatnya. Apalagi ia tidak tahu bagaimana perasaanmu. Aku cuma tidak ingin kau bersedih. Karena kau adalah sahabatku. Ya, kita adalah sahabat, Air. Aku ingin kamu menceritakan segala sesuatu yang mengganggu pikiranmu.”

Ia hanya tersenyum berat. Menatap dengan mata yang lelah. Air! Sosok perempuan yang asing. Tak pernah keluar canda-tawa dari bibirnya yang memerah. Ia seorang gadis yang pendiam. Pindah tiga tahun yang lalu ke rumah ini. Tapi, hanya aku yang bisa membuatnya tersenyum. Hanya aku.

Bagiku, Air seorang sahabat yang tak pernah letih menemaniku dan juga sebagai saudara yang kusayang. Aku akan selalu memperhatikannya dalam keaadan apa pun. Baik itu senang atau sedih.

“Nin, apa kau masih mau membaca tulisanku?” ia membuka pembicaraan lagi. Khayalanku buyar berkeping-keping dan terbang melayang dibawa angin. Entah ke mana.

“Ya, tentu! Seperti biasa, kau selalu memberikan puisi-puisi yang kau buat untuk pangeranmu. Setiap hari,” jawabku tanpa ragu.

“Tolong kau baca ini. Dan, beri aku makna, apa saja,” pintanya.

Aku menoleh, tak biasanya ia memohon padaku. Dan, tak dapat kulukiskan wajahnya yang berharap.

Aku bertekuk padamu, wahai engkau yang tak beda dengan diriku. Tapi, terasa lengkap bila denganmu. O, cermin diriku, aku mencintaimu! 4

“Air! Aku mengerti perasaanmu. Tapi, tolong...”

Belum sempat aku berkata, ia memberikan kertas berikutnya kepadaku.

Juliet, Shinta, atau Hawa, tiba-tiba terasa lebih perkasa ketimbang Romeo, Rama, ataupun Adam. Kurasa mereka