Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/80

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

putih berjajar rapi. Tuts tersebut seakan tak sabar menunggu sentuhan jemari halus Laurin siap dimainkan. Tetapi, Laurin hanya menatap saja. Pikirannya kembali kacau.

“Laurin, puncak Beethoven berkarya, justru pada masa ketuliannya kian parah. Tapi, ia tidak pernah putus asa. Ia terus berkarya menggubah musik, padahal ia berada di dunia yang tak bersuara. Lihat aja dari karya Simfoni IX yang terkesan perkasa, kini telah menjadi mahakarya darinya. Kamu mengerti, kan, maksudku?” kata Gito.

Laurin tetap bergeming. Emosinya semakin memuncak. Vini cemas dengan reaksi Laurin tersebut.

Nggaaakkk...” teriak Laurin tiba-tiba. “Kalian mau menghinaku, ya? Apa maksud semua ini? Kalian tahu jari-jariku lumpuh, tapi tetap saja... kalian... Ah, teman macam apa kalian?”

“Maaf, Rin. Kami tahu itu menyakitkan bagimu. Ayolah, Rin. Kamu masih bisa menggunakan tangan kirimu untuk bermain piano. Aku yakin, kamu pasti bisa. Yang lalu biarlah berlalu, tak ada gunanya kamu sesali terus. Itu tidak akan mengubah keadaan.”

Laurin mengempaskan tangan Gito dari bahunya. Dengan satu tangan, ia langsung membelokkan kursi roda hendak meninggalkan tempat itu. Tetapi, dengan sigap Vini menggamit lengan Laurin.

“Tunggu! Kamu kenapa, sih?” tanya Vini.

“Aah!” Laurin mengenyahkan genggaman Vini.itu. Tanpa peduli, ia terus menjauh dari ruangan itu. Tubuhnya gemetar karena marah, napasnya tidak stabil, dan keringat dingin mengucur dari permukaan kulitnya. Dia benci piano. Dia benci teman-temannya. Dia benci dirinya sendiri.

Di tengah kemarahannya, terdengar suatu alunan musik. Laurin berhenti. Itu... itu musik pertama gubahannya. Musik itu seketika mengingatkannya pada kenangan masa kecil yang penuh tawa. Jauh berbeda dengan hari ini.

Laurin membalikkan kursi rodanya dan terlihat Gito sedang duduk memainkan piano dengan penuh penghayatan. Laurin terhenyak. Dia tidak bisa berkata-kata lagi.

Dengan ragu-ragu, Vini menghampiri Laurin seraya berkata lembut, “Rin, kamu tahu, nggak, Veronica Shafstall