Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/75

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

dari otaknya. Laurin kembali melihat tangan yang kaku karena dililit perban. Apa yang... Oh, tidak. Konserku? pikirnya. Sekarang ia mengangguk paham, kebahagiaan menggelar konser tunggal yang baru saja dialami hanya sebuah kesenangan semu. "Nggak. Nggak mungkin. Tadi itu nggak mungkin mimpi. Konser itu nyata. Nggaaaaakkk...

Air mata kini mengalir membasahi pipinya. Konser yang selama ini telah dipersiapkan sedemikian rupa, tiba-tiba batal karena kecelakaan. "Tapi... tunggu dulu. Kalau memang penyakitku tidak parah, seharusnya konser itu ditunda hingga aku sembuh. Bukan dibatalkan seperti ini. Apa maksudnya?" ujar Laurin dalam hati.

Rasa penasaran terus menghinggapi Laurin beberapa hari kemudian. Keluarganya selalu mengalihkan pembicaraan, jika Laurin bertanya perihal dirinya. Suatu keadaan yang mencurigakan, pikirnya. Sampai pada akhirnya, ketika dokter mengganti perban di tangannya, Laurin melihat ada sesuatu yang aneh. Ia tidak dapat menggerakkan jarinya, dan yang lebih parah lagi tidak sedikit pun ia merasakan nyeri pada tangannya padahal bekas luka akibat kecelakaan kemarin belum kering.

"Mengapa tanganku begini, Dok?" tanya Laurin tiba-tiba. Dokter menghela napas panjang mendengar pertanyaan yang memang sudah diduganya keluar dari mulut Laurin. Ia pun duduk di samping tempat tidur.

"Seharusnya kami sudah memberi tahu kondisimu dari awal. Tetapi, orang tuamu melarang karena takut kamu akan bertambah shock..."

Penjelasan dokter memang sangat mengejutkan. Laurin menatap lekat-lekat dokter itu, memperhatikan apakah terdapat sinar jenaka dari matanya.

"Dok..., dokter bercanda, kan?" sahutnya terbata bata yang diikuti anggukan sang dokter.

Laurin tertegun. Jantungnya mencelos. Bulu romanya merinding dan otot-ototnya mengejang. Tanpa disadari air matabergulir membasahi pipinya. Jadi ini yang disembunyikan semua orang darinya. "Nggak. Ngak mungkin Dok. Nggak mungkin. Hik...hik...hik..."

63