Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/58

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

"Terima kasih, Cantik!" Dia balas senyum. Aku pun tersenyum tipis. Senyum yang dibuat-buat.

"Cantik!"ulangku dalam hati.

Cuma ibu satu-satunya orang yang bilang aku cantik. Aku sadar sekali kalau wajahku biasa-biasa saja. Sangat biasa malah. Kalau dibandingkan Agnes Monica, jelas sekali kalau aku masuk dalam kategori jelek. Tapi, walau bagaimanapun jeleknya aku, Ibu pasti selalu bilang aku cantik. Dan kupikir setiap ibu akan melakukan hal yang sama pada anaknya.

Gelas di tanganku sudah berpindah tempat ke tangan Ibu. Tanpa ragu Ibu meneguk seluruh isinya sampai habis. Sepertinya, Ibu juga kehausan. Aku yakin dia lebih lelah daripada aku. Bisa dibuktikan dengan ratusan butir peluh di dahi dan lehernya. Wajahnya juga melukiskan rasa letih yang amat sangat.

Aku menggigit bibir. Menahan sedih melihat nasib kami. Ibuku harus bekerja superkeras untuk membiayai hidup kami dan untuk mewujudkan impiannya yang menyekolahkanku sampai ke perguruan tinggi. Sejak ayahku meninggal saat aku berumur tiga ahun, ibu harus membesarkanku sendiri. Beliau pernah berjanji kepada mendiang ayah, pada saat-saat ayah sakratul maut, untuk membesarkanku dengan baik. Ibu membuktikannya. Ia membesarkanku dengan hasil keringat sendiri sebagai buruh cuci dari rumah ke rumah. Maklum, ibuku cuma tamatan SD sehingga tidak memiliki kemampuan berdasarkan otaknya dan harus menguras tenaganya.

Aku jadi merasa bersalah sama ibu. Aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk membalas jasanya. Untuk membuatnya bahagia, apalagi bangga. Aku orang biasa. Terlalu biasa. Bukan hanya wajahku yang biasa, otak dan kemampuanku juga biasa. Tidak ada satu pun yang menonjol dari diriku.

"I... i... bu...cc..ca... pek..., ya?" tanyaku.

Bingung? Kenapa aku bicara aneh dan terputus-putus?

Ya benar! Aku gagu. Aku cacat. Cacat lahir. Aku seorang gadis cacat. Bagaimana aku bisa membanggakan Ibu? Yang ada malah, aku sering membuatnya malu dan sedih. Satu hal yang selalu membuatku bangga kepadanya, Ibu mampu dan selalu sabar membesarkanku yang tidak normal ini. Dengan

46