Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/53

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

hanya halusinasiku karena di benakku masih terpahat namanya dan ditimpaniku mengalir salinan nada suaranya.

Aku terdiam, lirih menjawab salamnya. Kami berbicara di balik pembatas saf. Aku tak percaya, hari ini akan datang secepat itu. Hari yang aku harus mengakhiri cintaku. Tapi, aku tak sanggup menahan semua ini, tangisku sudah cukup deras.

“Ukhti, saya takut, ternyata nantinya saya bukan orang yang kau inginkan untuk menjadi pendampingmu.”

Aku menangis sejadinya dan berlari ke kamar mandi. Aku mulai berusaha menenangkan hatiku ini cukup berat bagiku.

Tiba-tiba ponselku bedering.

“Anakku, Hubban, segera kembali ke Padang, ya, Ayah telah menyiapkan tiket untukmu, berangkatnya besok pagi pukul 10 siang. Terima Faksnya di yayasan, ya...”

“Ayah, ada apa.”

“Segeralah kembali, ini demi masa depanmu, Nak.”

Aku bingung, aku takut, terlintas wajah kedua orang tuaku. Mungkinkah terjadi sesuatu pada mereka?

Aku berjalan gontai menuju dalam masjid. Teteh Nailul mendekatiku dan bertanya apa yang terjadi. Aku menjelaskan semuanya.

***

Bandara menjadi saksi kepedihanku dan kelinuanku. Berjuta tanya menyedot sel-sel otakku. Pertemuanku dengan si ikhwan itu pun tertunda. Setidaknya aku lega, masih diberi wakti untuk menguatkan hati.

Aku merebahkan tubuhku di kursi pesawat. Aku hendak melupakan sesaat apa yang telah terjadi. Tapi, tiba-tiba seseorang yang sangat kukenal duduk di sampingku. Aku menatap wajahnya. Oh, dia Raizku. Hatiku mulai berperang kembali.

"Jauza, wah, aku tidak menyangka kita bisa bertemu di sini.”

Aku hanya tersenyum dan mulai kembali menata hatiku. Dia memakai kemeja biru muda, wajah gagahnya menyiram dahagaku. Ya Rabb, kuatkanlah hatiku.