Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/52

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

“Alhamdulillah, menjadi yang terbaik. Rencananya setelah koas, saya mau balik ke Padang. Menurut Teteh, gimana?”

“Bagus, mengabdi di negeri sendiri memang lebih menyenangkan. Tidak ada rencana menikah?”

“Menikah?” aku tersenyum geli mengulangi kata-kata itu dalam hati.

“Iya, Teteh udah punya calon buat kamu.”

“Saha yang mau ka abdi.”

“Eh, banyak, atuh. Mau, yah?”

***

Aku melamun cukup lama. Sampai aku tak sadar, Sissy dan Ansari dari tadi sibuk memotreti gaya lamunanku.

Kumaha, teh, ngalamun aja,” teriak Ansari membuatku mengejarnya menuju masjid.

Teh, dihapus atuh fotonya,” tawarku sedikit merajuk.

Teu, engke abdi pangmeserkeun ka Aa Raiz.”

“Ansari, apaan, sih?”

Wajahku memerah. Tiba-tiba dari luar tampak langkah Teteh Nailul.

“Jauza, siap, atuh, teh.”

“Siap naon?”

“Bertemu jodohnya, hari ini sudah Teteh buatkan janji. Dia anaknya baik, pintar, saleh pula. Dia salah satu pengajar tetap di yayasan. Bagaimana?”

“Sekarang, tapi...”

Tapi, aku belum siap untuk mengikhlaskan dia nantinya menjadi suamiku. Di hatiku masih bersemayam wajah Raiz. Lelaki yang menjadikan aku permata di antara kerikil. Kabarnya, dia mendapat bea siswa ke luar negeri. Jadi, mungkin tak ada harapan bagiku untuk bisa dipersunting olehnya. Aku berusaha memanfaatkan waktu yang hanya tinggal sejengkal ini. Aku berperang dengan batinku, aku berusaha membebaskan diri dari belenggu cinta Raiz yang takkan pernah berlabuh. Apakah aku sanggup menukarkan cintanya untuk masa depanku?

“Assalammu alaikum, Ukhti Jauza,” suaranya aku kenal, itu suara Kak Raiz, tapi tak mungkin itu dia, mungkin itu