Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/42

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

“Bisa ndak, ditukar dengan kelereng...,” suaranya semakin lembut, seakan membelai langsung hati emaknya yang untuk sesaat terdiam seribu bahasa. Perlahan emaknya menggeleng, seiring dengan itu beberapa tetes air matajatuh dari kelopak matanya, turun mengikuti raut mukanya dan jatuh akhirnya, setelah sempat bergelayut di ujung dagunya yang tua. Air matanya merembes mengikuti iba hati terhadap anaknya, yang sekecil itu harus sudah tahu akan sulit hidup.

Tulin melangkah lagi, kembali menapaki jalan berbatu. Ia tahu kopi itu untuk bapaknya. Oleh karena itu, ia harus sesegera mungkin. Ia harus segera pulang sebelum bapaknya kembali, entah dari mana. Namun, biasanya bapaknya baru pulang setelah malam teramat jauh. Ia sendiri tidak tahu apakah ia bahagia dengan kepulangan bapaknya atau malah sebaliknya. Sebab, setiap kepulangannya selalu saja diiringi oleh keributan yang tak berawal tak berakhir, Tidak jarang pula sasaran kemarahan itu adalah Tulin, dirinya sendiri.

Tulin terus melangkah di bawah sinar matahari senja yang mulai meredup sebab sebagiannya telah hilang, tenggelam di balik gunung yang menjulang tinggi. Yang tinggal kini hanyalah sebagian cahaya yang masih memberikan sedikit sinar walaupun sayangnya hanya menyentuh pucuk-pucuk pohon. Seiring dengan itu, sepoi angin juga menyapa seakan menyambut kehadiran tirai malam yang melambangkan damai, tenang, dan lelap sebab saat itu semua telah kembali. Alam kembali ke bentuknya, sunyi. Anak-anak burung kembali hangat oleh induknya. Lelah akan kembali hilang seiring kelam.

Untuk beberapa saat, jalan itu sepi, sesepi-sepinya. Tak ada seorang manusia pun yang berjalan di ujung senja di kala detik-detik pergantian siang dan malam. Semuanya seakan hilang teriring lenyapnya mentari. Namun, sejenak kesunyian itu tercabik oleh bayang mungil seorang bocah. Ialah Tulin, yang kembali pulang dengan sebungkus kopi tergenggam di tangannya. Ia—seperti semula—melangkah secepat mungkin. Jika saja ia seperti anak Jain, barangkali ia telah merengek atau, bahkan menangis karena lelah. Namun, apa daya inilah hidupnya.

30