Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/41

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

tam, menandakan kelanjutan usianya. Demikian juga halnya dengan tonggak ramah tersebut, juga telah tua. Di Pebarapa bagian tonggak itu tampak dihiasi oleh lobang-lobang kecil buatan kumbang. Mereka seakan tidak mengerti—dan memang tidak mengerti—dengan kondisi rumah tersebut. Jangankan untuk mengganti sebuah tonggak, untuk sesuap nasi pun terkadang mereka tidak bisa mendapatkannya, hingga tidak jarang dalam sehari perut mereka hanya dialas air.

Bukan hanya masalah dinding dan tonggak, kedudukan ramah itu juga memprihatinkan. Rumah itu telah condong sehingga terpaksa harus ditopang oleh beberapa ruas pohon bambu yang ditancapkan ke tanah.

“Krang..., krang..." ,

Bunyi itu menggema sesaat setelah Tulin masuk ke rumahnya. Ia baru saja memasukkan “hartanya” ke dalam kaleng tua berkarat yang ia dapat dari jalanan berbatu yang tiap hari ia lalui. Satu, dua, lima, sepuluh buah kelereng bergantian masuk, bahkan lebih.

“Tulin..., kemarilah sebentar Nak,” sebuah suara yang Suctah teramat ia kenal memanggilnya dari dapur, Itu adalah suara emaknya.

“Tulin..., tolong Amak, belikan sebungkus kopi ke warung.”

Suara Hu sangat jelas ia dengar karena memang saat tu ia telah berdiri di hadapan emaknya. Namun, ia masih saja berdiri mematung di tempat itu, dapur. Jika memang harus membeli, mengapa emaknya tidak memberi uang? Namun, untuk meminta langsung pun ia tidak berani, tepatnya tidak tega, karena in tahu emaknya sudah tiga hari tidak bekerja sebagai buruh tani di sawah mereka yang “beruang”. Atau, mungkin untuk ke sekian kali ia harus. . .

"Utang dulu...” sambung emaknya sembari terus Wencoha menghidupkan api di tungku. Sesaat setelah itu, Tulin haru melangkah, tetapi baru beberapa langkah ia borhalik.

“Mak..., Tulin mar membantu...,” suaranya lembut dan lagu. Jauh berbeda dengan raut mukanya yang kelihatan keras.

29