Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/43

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Tentang menangis, ia, Tulin, jarang menangis, bahkan bisa dikatakan tidak pernah. Bukan karena apa-apa, ia takut menangis. Menurut cerita emaknya, anak-anak yang suka menangis akan dijemput oleh segerombolan penghuni batang aja* yang ada di belakang rumahnya. Mereka akan memasukkan anak tersebut ke dalam karung, membawanya ke sarang mereka, dan menjadikannya budak. Itulah alasan terbesar mengapa Tulin takut menangis. Bahkan, pada saat ikat pinggang bapaknya mendarat kasar di punggungnya pun, ia tetap tegar, Ia hanya memejamkan mata sedalam-dalamnya sembari meringis menahan perih. Tak ada jeritan, tak ada air mata. Lalu, setelah itu, di punggungnya akan terbentuk faris-garis merah yang melintang tak karuan. Perih. Bahkan, tidak jarang dari garis-garis itu akan merembes cairan tubuh berwarna merah, darah.

Biasanya melihat kejadian itu, emak hanya bisa menjerit histeris tanpa bisa mencegah dengan perbuatan karena kalau itu beliau lakukan, bisa-bisa yang menjadi sasaran kemarahan berikutnya adalah beliau sendiri dan ia, Tulin, tidak tega menyaksikan itu semua.

Tulin hampir tiba kembali di rumahnya. Tinggal hitungan langkah saja. Namun, matanya menangkap pintu rumah—yang biasanya tertutup—kini sedikit terbuka. Cahaya lampu minyak pun menerobos keluar, Tidak biasanya pada waktu seperti itu pintu rumahnya terbuka. Ia terus melangkah semakin mendekat. Namun, seiring dengan itu ia mendengar sedikit keributan. Mulanya suara itu tidak terlalu ribut, tetapi semakin lama semakin ricuh. Lalu beberapa saat kemudian Suara barang-barang vang dilempar ikut mengiringi. Gelas-gelas pecah, loyang melayang.

Dari sela-sela keributan itu, telinga Tulin dapat Menangkap suara tangis seorang wanita, emaknya. Suara itu melengking tinggi seiring tangis yang semakin berderai. Tangisan itu juga diselingi oleh bentakan yang kuat dari seorang laki-laki.

Kejadian itu memberikan suatu kepastian pada Tulin bahwa bapaknya tetap pulang. Entah angin apa yang membawa bapaknya pulang secepat itu, paling tidak, lebih cepat dari hari biasa, yaitu larut malam.

31