Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/26

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Kali ini aku tersenyum lebar ke arah Ibu. Ternyata, Ibu juga menyadari kecantikan yang ada pada anaknya.

“Cuma satu pesan untukmu! Jangan pernah peristiwa yang terjadi antara Ayah dan Ibu terulang lagi,” terlihat harapan kosong di mata Ibu.

“Memangnya, peristiwa apa yang terjadi antara Ayah dan Ibu?”

“Susah-susah Ibu sekolahkan, tak pernah mengerti dengan nasihat Ibu.”

“Apalagi ini, Bu? Nasihat yang mana?” aku kebingungan.

“Aduh...,kamu kalau urusan anak bujang, matanya pasti berbinar! Tapi, ini, bodohnya minta ampun!”

“Sudah, Bu! to the point saja, to the point.”

“Kain-kain apalagi yang kamu bicarakan, Kus? Besok kamu tak usah sekolah lagi. Benar-benar pikiranmu sudah tak waras. Masak, nasihat Ibu dibilang kain.”

“Aduh, Ibu..., maksud, Kus, langsung ke point!”

“Kamu minta koin? Pasti kamu main dingdong di warung sebelah? Ya, kan? Jangan bohong lagi, Roh sudah sering melihat kamu duduk di sana!” Ibu mulai naik pitam. Tapi, aku yakin, ini hanya sementara! Sebentar lagi, Ibu pasti sudah mengelus rambutku.

Terasa olehku pegangan kuat tangan Ibu tepat mengepit telingaku yang mulai memerah. “Kamu bukannya bersyukur sudah disekolahkan, malah menjadi-jadi.”

“Maaf, Bu, bukan begitu. Maksud, Kus, langsung saja ke pokok pembicaraan!”

“Kamu pikir, dari tadi Ibu bilang asal-asalan? Ibu sedang tak enak bicara, sakit gigi! Mana mungkin Ibu buang-buang suara buat hal yang tidak berguna.”

“Iya! Iya! Kus salah, Ibu benar! Kus bodoh, Ibu pintar! Kus jelek, Ibu cantik! Sudah, kan, Bu? Kus ke kamar dulu!” aku melangkah cepat ke arah bilik, satu-satunya ruangan yang ada di rumahku. Jika Ibu marah, aku memang tak pernah tahan berada di dekat beliau. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanya mengalah dan menghindar jauh-jauh.

Aku tidur bersama Ibu. Untunglah Ibu sudah bercerai dengan Ayah sehingga aku bisa tidur di dalam. Kalau tidak,


14