Si perempuan hanya tersenyum, sadar kalau pantun itu ditujukan kepadanya. Ia pun kemudian mengambil alih, balas menyindir.
lapeh nan dari aie aji
ka balai anak pasa lamo
kok lai sayang kamanjadi
usah ditahan lamo-lamo
nan parapat jo danau toba
pulau simosir nan di tangahnyo
bialah bansaik asa ba-uda
ka sanang juo makan jo samba lado
jiko Indak uda di tangan urang
baralah kasanang di dalam hati
siang jo malam uda tabayang
lai kabuliah kasiah manjadi
Penonton pun terpingkal lagi. Lalu melontarkan komentar-komentar sesuka hati, sekehendak apa yang terasa di otak mereka.
“Gungguang tabang, Tukang!”
Tubuh mereka berdua bergoyang. Meja pun ikut bergoyang. Tuan rumah mulai cemas kalau-kalau “panggung” itu akan ambruk. Mereka lalu bersibuk diri mencari sesuatu untuk menopangnya.
Raun sabalik pertama ini biasanya cukup lama, bahkan sampai berjam-jam. Tergantung kalau banyak penonton yang protes dan mulai bosan. Atau perempuan pemegang gendang telah penat, keringat dingin telah membasahi tubuhnya. “Sudah cukup, Tukang. Kini berceritalah!”
Si tukang kaba pun mengalah. Tali rabab dijentik mengiut panjang. Kemudian digesek lagi, menghasilkan irama yang berbeda dari sebelumnya (yang terdengar lebih riang, berganti menyayat melinturkan kalbu). Beberapa judul kaba diuraikannya. Tentu saja setelah terlebih dahulu bertanya pada tuan rumah. Tali rabab dijentik lagi, ditekan dalam-dalam. Olok-olokan penonton bergema lagi.
“Diapakan itu, Tukang?”
“Agieh sampai putuih!” yang lain menimpali.
174