Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/184

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

masih setia menemani si tukang kaba yang menggulirkan ceritanya. Ada yang setengah terkantuk, tetapi terus mencoba untuk tetap setia, ada yang masih bertahan bermata nyalang menikmati gesekan biola yang semakin malam semakin melintuhkan hati itu.

Gelas-gelas kopi terlihat bertebaran di dekat mereka, di atas meja-meja yang telah disediakan tuan rumah. Sanama kemudian mengalihkan pandangan ke lelaki bertubuh besar di dekatnya, di atas ranjang yang telanjang. Lelaki itu tampak pulas. Mungkin letih. Dengkurnya menguap pelan. Ah, ia tak kuasa menatap wajah itu terlalu lama.

Ayam jantan berkokok lagi. Suaranya mengalun-berayun di udara. Sesekali ditimpal salak anjing yang jadi aneh, seakan-akan mengandung hantu-hantu di tiap-tiap renggangannya. Bulan semakin condong ke barat. Lingkaran cahaya yang mengelilinginya seperti perpusaran air seakan-akan menyeret bunyi gendang dan gesekan biola yang mendayu-dayu itu, yang tengah mencipta purnama lain dalam dada orang-orang.

Menerangi sesudut hati mereka yang menjadi batu, raga-raga yang letih dihadang kerja, pergi menakik getah ke rimba, bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit, ada yang memilih berladang coklat, atau sawah hingga senja. Begitulah kehidupan orang-orang di kampung itu.

Sementara itu, hari pun telah hampir mencapai subuh, tetapi cerita belum juga menampakkan akan diakhiri. Orang-orang telah banyak yang memilih pulang. Tetapi, kaba harus tetap dilanjutkan walau tak seorang pun penonton yang masih tersisa. Sampai suara lain pun menggantikannya, suara yang lebih menyayat dari gesekan biola, lebih menyayat dari suara apa pun juga.

Gendang pun ditabuh. Suasana menjadi hidup. Memecah ritme waktu yang berjalan lamban. Raun sabalik pun dimulai. Meja, yang dijadikan sebagai panggung tempat si tukang dan pemain gendang, yang bergoyang menjadi olok-olokan para penonton.

172