Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/180

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

seberang sana, tempat aku berdiri tadi.

Impianku hancur! Luluh! Rhicmond mengusirku, takkan ada lagi yang menghiraukanku. Dia benar-benar membenciku.

“Malangnya aku menjadi hewan,” aku berteriak iba hati.

“Tidak, kau harus bangga,” ada suara dari arah belakangku. Rasanya suara itu pernah kukenal. Rasa penasaran di sekujur jiwaku, aku menengok ke arah sumber suara itu.

“Pak Haji,” sapaku, sedikit merasa malu karena dia mendengar perkataanku. Kucing belang itu amat disegani di kaum kami. Dia pernah dibawa majikannya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.

“Kau harus bersyukur, Anakku. Kita sudah diberi hidup. Itu anugerah yang sangat luar biasa.”

“Apanya yang anugerah, Pak Haji? Minta dicintai saja, aku tak dikasih oleh Sang Pencipta,” umpatku.

“Hei-hei! Itu salahmu. Banyak yang menyukaimu, malah pangeran di negeri seberang yang terkenal ketampanannya,” ucapnya. Aku tertunduk malu.

“Ya, tapi, aku hanya ingin Rhicmond menyukaiku,” aku berusaha membela diri. Pak Haji geleng-geleng kepala sambil senyam-senyum.

“Itu salahmu, Sayang. Keinginanmu terlalu tinggi. Terlalu sulit untuk digapai. Kau kucing, dia manusia. Sangat jauh! Jangan samakan dirimu dengan manusia itu.”

“Maksud, Pak Haji?”

“Ya, boleh-boleh saja bercita-cita setinggi apa pun. Tapi, jangan salahkan Allah, jika yang diharapkan tidak sampai karena Allah hanya akan mewujudkan mimpi orang-orang yang berusaha diiringi dengan doa. Kau tahu banyak, manusia hanya bisa mengumpat, seakan-akan Allah tidak pernah menyayanginya.”

“Bagaimanapun manusia itu makhluk yang mendekati kesempurnaan,” aku menanggapi perkataannya tadi. Beliau mengangguk setuju.

“Nah, Pak Haji, kalau begitu, tolong doakan aku agar bisa menjadi manusia,” pintaku. Lagi-lagi dia tersenyum.

“Mengapa kau ingin menjadi manusia?” sebuah pertanyaan terluncur dari mulutnya.