Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/174

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

 “Permisi, Pak!” ujar Adi santai.

 “Mau beli apa, Nak?” tanya pemilik toko itu. Hari ini ia memakai baju putih lengan panjang dan celana panjang berwarna hitam.

 “Saya mau beli pensil mekanik yang ada mainan, seperti kue itu,” pinta Adi. Hah? Apa maksudnya dengan beli pensil segala?

 “Yang itu, ya?” jawab bapak itu sedikit mengernyitkan dahinya saat mendengar kata 'kue'.

 “Ya, betul. Kok, Bapak kaget, sih? Setiap orang, kan, pasti pernah makan kue?” komentar Adi.

 “Apa maksudnya?” tanya bapak itu agak tersinggung.

 “Jadi, benar ya, kalau Bapak punya saudara yang buka toko kue di malam hari itu? Mengapa Bapak nggak ikutan?” tambah Adi tak peduli.

 “Apaan, sih! Dari dulu sampai sekarang saya tidak akan pernah mau membuka toko kue macam dia. Lagi pula saya tidak mahir, tuh!” serunya benar-benar marah.

 “Hah...! Jadi, hanya karena itu Bapak tidak mau?” ucap Adi tampak lega.

 “Apa?” gumam bapak itu sambil mengerutkan dahinya.

 “Maksudnya..., kan, Bapak bisa menjelaskannya dulu pada Pak Hesti.”

 “Paman!” seru Rasel tiba-tiba muncul dari luar. Dia seorang perempuan berambut hitam dan ikal. Wajahnya imut dan putih.

 “Ra .... Rasel? Mengapa ada di sini?” ucap bapak itu kaget.

 “Kami sudah dengar, lho;;! Jadi kapan kita latihan?” tambah Pak Hesti, sang pemilik toko kue.

 “Latihan? Apa maksudmu, Hesti?” teriaknya terbelalak kaget.

 “Kau tidak mau membantu usaha toko kue karena kau tidak bisa membuat kue, kan? Kalau kau sudah bisa, apa kau mau meneruskan usaha orang tua kita bersama-sama?” ucap Pak Hesti lembut pada saudara kembarnya.

 “He, Hesti? Kau bodoh! Mana mungkin aku...?” ucap paman itu terputus. Ia menutupi wajahnya yang berlinang air mata dengan tangannya.

162