Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/172

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

 Hah..., akhirnya aku pergi juga walaupun aku sedikit mengantuk karena belum tidur siang.

 “Ah, itu dia!” gumamku senang karena melihat Adi sedang menungguku di pohon itu.

 “Hai! Capek, ya, lari-larian?” sapanya sambil tersenyum.

 “Tidak..., biasa saja. Oh.., Desi mana?” ujarku baru ingat pada dirinya.

 “Tenang saja. Sebentar lagi pasti dia datang!” jawabnya ringan.

 “Nah, itu orangnya. Baru saja kita bicarakan,” celetuk Adi lagi sambil melirik Desi yang turun dari mobil pribadinya.

 Kurasa Desi diperbolehkan orang tuanya datang kemari. Buktinya, ibunya yang mengantarkannya.

 “Halo! Maaf kalau aku terlambat!” ujarnya sambil tertawa kecil.

 “Tidak apa. Kita juga baru tiba di sini dua menit yang lalu,” ucapku.

 “Ya, sudah! Kita langsung saja ke sana. Dari tadi toko itu sudah buka,” ajak Adi. Seperti yang dikatakan Adi, toko kue itu telah dibuka. Persis di toko peralatan alat tulis tadi! Papan namanya telah diganti dengan “Toko Kue Ram”, suasana di dalamnya pun telah berganti dengan meja-meja dan tataan kue-kue manis, seperti kemarin malam. Benar--benar berbeda 180 derajat dengan toko yang tadi siang.

 “Selamat datang!” seru pemilik toko yang baru saja menghias kue dengan kantong spet.

 “Ah!” gumamku kaget. Walaupun ini kedua kalinya aku kemari, tetap saja terasa ganjil dengan penampilannya yang lucu itu.

 “Wah! Paman itu aneh, ya?” ucap Desi dari belakangku.

 “Sst! Nanti kedengaran?” seruku langsung menatap Desi.

 “Ha ha ha ha! Jadi, aku ini aneh, ya? Aku merasa lucu kalau ada yang mengatakannya.

 “Padahal, seharusnya orang akan marah, lho!” sahut bapak itu.

 “Siapa yang tak akan berkata seperti itu, jika melihat orang dewasa berpakaian aneh dengan motif kekanak-kanakan,” jelas Desi.

160