Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/170

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

ucapnya sambil menekankan kalimat terakhirnya.

“Tapi, jelas-jelas kita masuk ke toko itu! Abang jangan menyangkal!”selaku tak bisa menerima perkataannya.

“Huh! Kamu memang tidak bisa diberi pengertian, ya? Abang malas berbicara denganmu, Riska!” ujarnya sebal dan mempercepat langkahnya.

Aneh! Benar-benar aneh! Mengapa Bang Koko marah-marah hanya karena toko itu? Bukankah dia sendiri juga penasaran? Tapi..., kalau dia melarangku mencari tahu tentang toko itu berarti dia telah mengetahui sesuatu? Benarkah?

“Hmp...!”

“Ada apa, sih? Dari tadi melamun dan menghela napas terus!” ucap Bang Koko. Dia tepat duduk di depanku. Dan aku dari tadi terus memperkirakan apa yang disembunyikan Bang Koko dariku.

“Huh! Bukan urusan Bang Koko!” gumamku langsung berdiri meninggalkan meja makan.

“Memangnya, Abang pikirin?” celetuknya tak mau kalah.

“Bang Koko menyebalkan! Bodoh! Bodoh!” jeritku setelah berada di dalam kamar. Sambil terus mengomel, aku mengeluarkan buku PR dan buku latihan. Lalu, aku membalik-balikkan halaman sambil mengeluh.

“Eh...,jangan mengeluh terus! Tuh, ada telepon dari Desi. Katanya mau bicara sama kamu,” ucap Bang Koko tiba-tiba.

“...” aku diam saja dan langsung mengangkat telepon.

“Halo..., Desi?” seruku kembali bersemangat.

“Halo! Aku bukan Desi, tapi Adi,” sahut di seberang.

“Oh, Adi! Kok bisa...”

“Aku memang sengaja menyuruh Desi yang bicara duluan, biar Bang Koko tertipu,” ujarnya menjelaskan dan tertawa kecil.

“Ya, ampun. Eh..., tapi mengapa kamu tahu nama kakakku? Dari Desi, ya?” ucapku. Kurasa Desi yang memberitahunya tadi, saat mereka kutinggalkan di kafe.

“Iya. Kaget, ya?” ucapnya santai.

Hatiku menciut mendengarnya. Padahal, biasa saja, kan, kalau Adi ingin tahu tentang orang berteriak secara terang-terangan di saat kami membicarakan hal yang penting?