Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/167

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Kalian juga, kan?” ujar Adi. “Hah? Jadi, kamu juga pernah ke toko kue itu?” seruku tak percaya. Ternyata toko kue itu bukan hanya khayalanku saja!

“Ya, waktu itu aku tak sengaja melihat toko yang masih buka dari dalam mobilku.

Dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa hanya toko itu yang masih buka, sedangkan yang lainnya sudah tutup. Pasti ada sesuatu di sana. Aku pun memutuskan masuk ke toko itu. Sungguh menakjubkan bisa melihat beraneka ragam kue yang dijual di sana. Setelah malam itu, aku mencoba pergi ke sana lagi setelah pulang sekolah. Tapi, toko itu sudah berubah menjadi toko perlengkapan alat tulis. Lalu, aku pikir, mungkin di saat siang hari toko itu menjual alat-alat tulis dan sebaliknya, di malam hari toko itu menjual kue. Ternyata dugaanku tepat! Aku sudah tiga kali ke sana. Dan aku sampai sekarang masih menyelidiki keanehan itu,” kata Adi panjang lebar.

“Benarkah? Lalu apa yang kamu ketahui sekarang tentang pemilik toko yang tidak ramah itu?” tanyaku lebih lanjut.

“Hmp! Lebih baik kita cari tempat bicara yang enak dulu. Di sini banyak orang lewat,” ujar Adi.

“Iya juga, sih...,” gumamku dan Desi.

“Kalau mau, kita ngobrol di atas pohon saja?” usul Adi bercanda.

“Ih! Memangnya kita ini monyet, sepertimu?” ucapku sambil tertawa.

“Maaf, maaf. Kita pergi ke kafe tempat yang biasa kukunjungi, yuk!” ucapnya meralat kata-katanya tadi

“Boleh. Sekalian makan siang,” gumam Desi langsung bersemangat.

Kami menyambung pembicaraan tadi di sebuah kafe yang tak jauh dari deretan toko tadi. Kafe ini menghadap ke jalan dan tampak pemandangan yang sama, yaitu orang-orang yang lalu-lalang.

“Jadi, Di..., kamu sudah tahu apa saja tentang toko aneh itu,” ucapku.

“Ya, gitu, deh,” ucap Adi yang sedang memandang ke luar kaca.